Berhenti Haidh Belum Mandi Tapi Lakukan Hubungan/Jima`

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 22 Nov 2016

Berhenti Haidh Belum Mandi Tapi Lakukan Hubungan/Jima`

Bagaimana melakukan jima dengan istri ketika haid sudah selesai, tetapi belum bersuci, apakah ada kafarahnya? Bolehkah kafarah tersebut diberikan dengan memutihkan utang seseorang yang senilai dengannya? Dan apa dalil

Apa dalilnya kenapa wanita haidh baru boleh (hubungan suami istri) setelah mandi?

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ

“Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al Baqarah: 222)

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa para ulama sepaakat, diharamkan bagi suami menyetubuhi istrinya setelah darah haidh wanita tersebut berhenti sampai ia bersuci. Para ulama berselisih pendapat mengenai makna bersuci di sini. Ada yang menganggap yang dimaksud adalah mandi dengan air. Sehingga maknanya, barulah halal menyetubuhi jika istri sudah mandi dengan menyiramkan air pada seluruh badan. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah wudhu untuk shalat. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah mencuci kemaluan. Artinya, jika sudah mencuci kemaluan, boleh dilakukan. (Tafsir Ath-Thabari, 2: 510-511)

Dalam Ensiklopedia Fikih disebutkan bahwa mayoritas fuqaha -Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah- berpendapat tidak halal melakukan dengan wanita haidh sampai wanita haidh itu suci -darahnya berhenti-, lalu ia mandi. Tidak boleh menyetubuhinya sebelum ia mandi. Para ulama tersebut berpandangan bahwa Allah memberikan dua syarat untuk menyetubuhi wanita haidh setelah ia suci yaitu darah haidhnya berhenti lalu ia mandi. … Ulama Malikiyyah berpandangan bahwa tidak cukup dengan tayamum karena uzur setelah darah tersebut berhenti untuk halal lagi dikumpuli. Namun dipersyaratkan harus mandi lebih dahulu barulah halal jima'. (Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 18: 325)

Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Hadats haidh yang terdapat pada wanita haidh menyebabkan ia tidak boleh ditiduri. Hadats haidh tersebut barulah hilang jika mandi (setelah darah berhenti). Hal ini berbeda dengan hadats pada orang yang junub. Orang yang junub tidaklah dilarang melakukan hubungan. Larangan tersebut sama sekali tidak ada pada orang yang junub.” (Badai’ Al-Fawaidh, dinukil dari Al-Furuq Al-Fiqhiyyah, 1: 425).

Kesimpulannya, bagi suami jika ingin berhubungan dengan istri yang baru suci haidh, diperintahkan pada istri untuk mandi lebih dahulu barulah boleh berhubungan 'suami istri' dengan suami.

SHARE ARTIKEL