Beli Rokok Bisa, Tapi BPJS Nunggak

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 21 Sep 2016
Beli Rokok Bisa, Tapi BPJS Nunggak

Akhirnya isu kenaikan rokok yang akan direalisasikan September ini memang sekedar kabar angin. Kendati demikian, harga rokok pun tetap naik meskipun tidak mencapai Rp 50.000,- per bungkusnya.

Saat isu itu beredar banyak pihak yang pro dan kontra. Bagi yang kontra terutama dari pihak – pihak yang memiliki kepentingan atas industri rokok melakukan berbagai upaya agar wacana ini tidak di realisasikan. Berbagai statement hingga ancaman PHK besar – besaran di lontarkan sejumlah pihak melalui media – media publik.

Hingga BPJS Kesehatan ikut terbawa dalam rumor yang berhembus di masyarakat ini lantaran pernyataan dari anggota DPR RI komisi IX Dede Yusuf yang menyatakan kenaikan cukai tembakau akan di konversi ke Jaminan Kesehatan.

‎”Cukai yang didapat nantinya dikembalikan ke kesehatan, untuk pengembangan BPJS, kita kan sangat butuh. Itu usulan kami, memang belum dibahas,” tandasnya dikutip dari bpjs-online.

Baca Juga : “Bagaimana mungkin masyarakat tak mampu diwajibkan bayar denda (BPJS),” DPRD Sumsel

Terlepas benar atau tidaknya jika kita cermati polemik ini pihak yang menentang seolah – olah rokok merupakan penolong bagi petani tembakau serta buruh pabrik padahal itu sebagian kecil saja keuntungan terbesar adalah untuk pemilik pabrik.

Mereka lupa jika penentu rejeki itu bukan industri rokok. Manusia di bekali ilmu dan akal ketika sebuah ladang usaha sudah tidak menjanjikan lagi maka manusia akan beralih ke bidang usaha lain.

Lagi pula proses menurunnya daya beli itu tidak serta merta langsung begitu saja karena rokok cuma di naikkan cukainya bukan dilarang, jadi perlu waktu berbulan – bulan penurunan jumlah konsumsi rokok sehingga ada kesempatan untuk beralih ke mata pencaharian lain.

“Harga rokok yang mahal akan menurunkan daya beli masyarakat, terutama perokok. Setelah itu, industri rokok akan menurunkan jumlah produksi rokok dan berujung ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. “Apalagi, 80% pekerja di industri rokok adalah outsourcing yang sudah puluhan tahun bekerja dan rentan PHK” salah satu pernyataan pihak yang kontra.

Mereka selalu memoles racun menjadi sosok pahlawan penolong bagi rakyat kecil, mereka lupa 5 juta orang mungkin di untungkan oleh rokok namun 90 juta jiwa penduduk indonesia menjadi pecandu dan indonesia menempati perokok terbanyak di dunia.

Apakah kita biarkan? Kalau kita hanya melihat dari sisi lapangan pekerjaan g@nja pun jika di legalkan juga bisa membuka lapangan pekerjaan namun akankah kita mengorbankan generasi muda.

Jika dilihat promosi rokok berjubel dengan memanfaatkan artis -artis populer dengan anggaran milliaran. Dua orang menjaga kesehatan akan percuma jika tinggal serumah dengan 1 orang perokok. 1 orang perokok, habiskan 1 bungkus rokok perhari ambilah sekarang harga rokok Rp 15.000, jadi sebulan sudah Rp 450.000. Banyak juga ya, itu kalau 1 orang dalam 1 KK, kalau 2 atau 3? Nah, BPJS kelas satu tagihanya belum sampai Rp 100.000/perbulan.

SHARE ARTIKEL