Presiden Yayasan Autisma Indonesia: "Gadget dan Makanan Tak Sehat Picu Autisme Pada Anak"

Penulis Cheryl mikayla | Ditayangkan 21 Oct 2018


Presiden Yayasan Autisma Indonesia:
Bahaya Jika Anak Anda Selalu Menggunakan Smartphone Sejak Dini (youtube.com)

Ngeri ya bun...

Begitulah adanya yang diungkapkan dr Melly Budhiman, SpKJ, presiden dari Yayasan Autisma Indonesia.

Selain faktor keturunan, penggunaan gadget serta pemberian makanan yang mengandung bahan seperti pewarna, perasa, vitsin dll bisa picu autisme pada anak.

Berikut penuturan lengkap beliau yang wajib orang tua simak!

Autisme atau autism spectrum disorder merupakan kelainan neurologis dan perkembangan yang kerap dimulai sejak kecil dan bertahan seumur hidup.

Pada autisme, selain faktor keturunan atau genetik, lingkungan juga berperan besar. Misalnya seperti paparan gadget sejak kecil dan makanan yang tidak sehat.

Dr. Melly Budhiman, SpKJ, presiden dari Yayasan Autisma Indonesia menjelaskan bahwa otak anak-anak pada usia 0-5 tahun berada dalam periode perkembangan emas atau golden period of development.

Melihat fenomena banyaknya orang tua yang memperbolehkan anak-anaknya bermain gadget sejak usia kecil bahkan bayi, dr Melly menyebut bisa memicu autisme pada sang anak.

"Otak anak ketika di atas 5 tahun masih berkembang, namun melambat. Sekarang, yang beratnya itu anak bayi udah dikasih gadget, udah nonton YouTube. Setiap anak itu berkembang harus belajar dari lingkungan. Dia harus meniru lingkungan, harus interaksi dengan lingkungan, tapi kalau dikasih gadget? Jadi terlalu fokus, tidak mau diganggu, nah di situ perkembangan dia jadi berhenti," terangnya saat ditemui di sela konferensi pers ASEAN Autism Games 2018, Jumat (19/10/2018).

Dr Melly menyebut orang tua tersebut sebagai dua mata pisau

Ia menceritakan pernah menanyai seorang ibu yang memberikan gadget pada anaknya yang masih berusia belum genap setahun, dengan alasan tanpa pengasuh sehingga gadget membantunya bisa bekerja dan anak menjadi tenang. Atau ada juga seorang ibu yang memberikan gadget agar anaknya mau makan, namun malah jadi kebablasan hingga ia besar.

Faktor lingkungan selain gadget, adalah pemberian makanan yang tidak sehat

Makanan yang banyak mengandung zat-zat kimia seperti vetsin, pewarna, perasa, pengawet dan esens dapat menjadi racun bagi otak.

Kemudian lingkungan yang semakin kotor, seperti misalnya laut menjadi buangan limbah memgandung merkuri yang akhirnya mencemari ikan yang bisa jadi akan menjadi makanan anak-anak.

"Jadi anak kecil udah dijejelin kimia yang sebenarnya racun otak. Merkuri adalah racun otak nomer satu di dunia. dunia ini makin kotor juga," imbuhnya, seperti dilansir dari detikHealth.com.

Ia mencatat, bahwa tak hanya anak-anak yang memang telah memiliki kelemahan genetik yang dapat terpicu autisme lebih cepat.

Oleh karena itu penting bagi para orang tua untuk teredukasi dan peka apabila sang anak menunjukkan gejala-gejala autisme.

Baca Juga:

Tanda Awal Autisme

Pada bayi, biasanya ditunjukkan lewat tidak adanya tatap mata. Di usia dua bulan bayi sudah mulai mampu menatap mata ibunya dan tersenyum, sementara pada bayi dengan autisme justru matanya 'jelalatan' atau tidak fokus. Lalu tidak merespon apabila diajak bergurau dan mengobrol, ekspresi wajah kurang hidup.

Jika sudah besar, umumnya akan menjadi hiperaktif, susah diajak mengobrol dan cenderung menentang.

Akan tetapi di sisi lain, dr Melly juga mengungkapkan rasa senang karena masih cukup banyak orang tua yang lekas memeriksakan anaknya yang menunjukkan gejala-gejala autisme.

Hal ini tentu bisa berdampak besar bahkan bisa menarik kemungkinan anak tersebut akan tumbuh autis apabila telah diterapi sejak sangat dini.

"Ada satu setengah tahun anaknya sudah dibawa untuk diperiksakan. Saya paling seneng, berarti ortunya sudah aware dengan gejala gejala autisme," katanya.

Tahun ini, Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah bagi ASEAN Autism Games 2018. Dalam perhelatan ini nyaris 200 penyandang autisme dari negara-negara di Asia Tenggara akan bertanding dalam lomba olahraga lari, renang, dan permainan-permainan tradisional Indonesia.

"Supaya masyarakat itu melihat kalau anak anak ini diberi kesempatan, diterima, diberi support, mereka itu bisa. (Penyandang autisme) memang proses berpikirnya berbeda, cara mengemukakan emosi juga berbeda. Kebanyakan mereka juga tidak bisa mengekspresikan pikirannya. Tapi mereka itu sama," tandas dr Melly.
SHARE ARTIKEL