Menguak Tabir Manusia Zaman Sekarang Bisa Bertemu Dengan Rasulullah, Benarkah?

Penulis Alif Hamdan | Ditayangkan 23 Oct 2018

Menguak Tabir Manusia Zaman Sekarang Bisa Bertemu Dengan Rasulullah, Benarkah?Wirda Salamah Ulya, Putri Ustadz Yusuf Mansur mengaku pernah mimpi bertemu Rasulullah

Bisakah kita bertemu dengan Rasulullah?

Pertanyaan semacam ini sampai sekarang masih menjadi misteri dalam dunia islam.

Bahkan banyak orang yang memanfaatkan kesempatan ini dengan mengaku-ngaku bertemu dengan rasulullah agar derajat namanya bisa terangkat tinggi dan diakui oleh masyarakat.

Agar tidak terjadi salah paham, pahami dulu hadist berikut..

Bagi sebagian orang, cerita mimpi bisa menaikkan derajat atau menjatuhkan derajat. Karena itu, terkadang ada beberapa orang sufi yang mengaku ketemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Meskipun kita tidak tahu nilai kebenarannya. Bisa saja orang berdusta terkait mimpinya, hanya agar posisinya semakin diakui masyarakat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman keras bagi orang yang mengaku bermimpi sesuatu secara dusta, yang dia tidak pernah mengalaminya.

Dari Watsilah bin al-Asqa’ Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَفْرَى الفِرَى أَنْ يُرِيَ عَيْنَيْهِ مَا لَمْ تَرَ

“Sungguh termasuk kedustaan yang paling besar adalah menceritakan mimpi yang tidak pernah dia alami.” (HR. Bukhari 7043 dan Ahmad 16980).

Dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَحَلَّمَ بِحُلْمٍ لَمْ يَرَهُ كُلِّفَ أَنْ يَعْقِدَ بَيْنَ شَعِيرَتَيْنِ، وَلَنْ يَفْعَلَ

Siapa yang mengaku bermimpi, padahal dia tidak mengalaminya, maka kelak di hari kiamat dia akan dibebani perintah untuk mengikat 2 biji gandum, dan tidak mungkin bisa melakukannya. (HR. Bukhari 7042).

Baca Juga :

Mimpi Bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Seperti yang dikutip dari konsultasisyariah.com, para ulama sepakat bahwa manusia mungkin saja mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadis dari Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي حَقًّا فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka sungguh dia telah melihatku secara benar. Sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai bentukku. Barangsiapa yang berdusta atas diriku secara sengaja maka hendaknya dia mengambil tempat duduk dalam neraka.”(HR. Bukhâri 110)

Dan penting untuk diperhatikan, untuk bisa membuktikan kebenaran mimpi itu adalah yang bersangkutan harus mengetahui ciri fisik Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang ulama tabi’in, Ayyub as-Sikhtiyani menceritakan,

كان محمد -يعني ابن سيرين – إذا قص عليه رجل أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم قال: صف لي الذي رأيته ، فإن وصفه له صفة لا يعرفها ، قال لم تره

Apabila ada orang yang mengaku mimpi bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Muhammad bin Sirin, maka beliau meminta, “Ceritakan kepadaku, bagaimana ciri-ciri orang yang kamu lihat.” Jika orang ini menyebutkan ciri-ciri yang tidak beliau kenal, maka Ibnu Sirin akan mengatakan, “Kamu tidak bertemu nabi.” (Fathul Bari, 12/384).

Sekali lagi, pertemuan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini hanya berlaku dalam mimpi.

Bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Kondisi Sadar?

Yusuf Mansur bukan orang yang pertama mengaku seperti ini. Dulu sudah ada orang yang mengaku seperti ini. Terutama orang-orang sufi. Dan ini sudah diingkari oleh beberapa ulama, diantaranya al-Hafidz Ibnu Hajar dan as-Sakhawi.

Al-Hafidz menyebutkan dalam Fathul Bari,

أن ابن أبى جمرة نقل عن جماعة من المتصوفة أنهم رأوا النبي في المنام ثم رأوه بعد ذلك في اليقظة

Bahwa Ibnu Abi Hamzah pernah menyebutkan dari beberapa orang sufi bahwa mereka melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mimpi, kemudian setelah itu mereka melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi sadar (di luar mimpi).

Kemudian dikomentari oleh al-Hafidz Ibnu Hajar,

وهذا مشكل جدًا ولو حُمِل على ظاهره لكان هؤلاء صحابة ولأمكن بقاء الصحبة إلى يوم القيامة ويعكر عليه أن جمعًا جمًا رأوه في المنام ، ثم لم يذكر واحد منهم أنه رآه في اليقظة

Ini pemahaman sangat bermasalah, jika hadis itu dipahami sebagaimana dzahirnya (bahwa orang bisa bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di luar mimpi) tentu mereka semua menjadi sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sehingga mungkin saja masa sahabat itu terus berlangsung sampai hari kiamat. Dan ini terbantahkan dengan adanya banyak orang yang bermimpi ketemu beliau, namun tidak ada satupun diantara mereka bahwa dirinya melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di alam sadar. (Fathul Bari, 12/385).

Subhanallah… seperti itulah komentar orang yang berilmu.. sederhana, namun mengena… andai klaim Yusuf Mansur ini benar, bahwa dia bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum tidur atau ketika di mobil, berarti Yusuf Mansur adalah sahabat. Karena definisi sahabat adalah orang yang bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kondisi beriman kepada beliau dan mati sebagai muslim.

Selanjutnya kita akan melihat keterangan as-Sakhawi.

Dinukil oleh al-Qasthalani pernyataan as-Sakhawi dalam buku beliau terkait perkara laduni,

لم يصل إلينا ذلك ـ أي ادعاء وقوعها ـ عن أحد من الصحابة ولا عمن بعدهم وقد اشتد حزن فاطمة عليه‏ صلى الله عليه وسلم حتى ماتت كمدًا بعده بستة أشهر على الصحيح وبيتُها مجاور لضريحه الشريف ولم تنقل عنها رؤيته في المدة التي تأخرتها عنه

Belum pernah sampai kepada kami pengakuan seperti itu dari para sahabat atau para ulama generasi setelahnya. Fatimah mengalami kesedihan luar biasa dengan wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai Fatimah meninggal disebabkan kamdan (menahan kesedihan) setelah berlalu waktu 6 bulan pasca-wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal rumah beliau bertetangga dengan makam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, dan tidak dinukil dari Fatimah bahwa beliau melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa hidup beliau setelah wafatnya ayahnya. (al-Mawahib al-Laduniyah, 2/371)

Demikian, Wallahu a’lam.
SHARE ARTIKEL