Ini Tanggapan Masyarakat Hingga MUI Tentang Kasus Pengrusakan Sedekah Laut Bantul!

Penulis Cheryl mikayla | Ditayangkan 15 Oct 2018

Ini Tanggapan Masyarakat Hingga MUI Tentang Kasus Pengrusakan Sedekah Laut Bantul!
Prosesi Larung Pisungsung Jaladri pada 2017 (Foto: Dok. Istimewa)

Karena dinilai syirik, sekelompok massa bercadar mengobrak-abrik dan merusak segala persiapan gelaran sedekah laut di Bantul.

Buntut dari kejadian tersebut, sedekah laut yang digelar di Pantai Baru, Bantul, pada Sabtu, 13 Oktober 2018 akhirnya dibatalkan.

Mengenai kejadian tersebut, ini tanggapan berbagai pihak termasuk MUI!

Dari berbagai informasi, diketahui peristiwa perusakan itu terjadi pada Jumat, 12 Oktober 2018 sekitar pukul 23.30 WIB atau jelang gelaran sedekah laut.

Cerita bermula saat puluhan orang bercadar mengendarai dua unit mobil, satu mobil ambulans, dan sejumlah motor mendatangi Pantai Baru.

Sambil berteriak takbir, massa bercadar itu merusak penjor (hiasan dari pohon pisang), memecah kaca meja, dan mengobrak-abrik kursi yang disiapkan untuk tamu.

Massa bercadar itu berada di lokasi sekitar 15 menit dan meninggalkan spanduk yang terpasang dekat lokasi sedekah laut bertuliskan "Menolak Semua Kesirikan Berbau Budaya Sedekah Laut atau Selainnya". Di spanduk juga tercantum Aliansi PETA.

Buntut dari peristiwa tersebut, pelaksanaan sedekah laut Pisungsung Jaladri di Pantai Baru, Kecamatan Sanden, Bantul, batal digelar.

Seperti yang telah kami rangkum dari kumparan.com, berikut tanggapan berbagai pihak mengenai peristiwa tersebut:

1. Tradisi Pisungsung Jaladri dilaksanakan setiap tahun

Berdasarkan keterangan dari nelayan setempat bernama Tuwuh, tradisi Pisungsung Jaladri sudah sejak lama dilaksanakan dan diadakan setiap tahun.

Namun, kali ini pelaksanaannya batal setelah kelompok masyarakat tertentu merusak properti pelaksanaan tradisi tersebut.

"Kami tidak tahu kalau itu dianggap syirik karena hanya tradisi," kata Tuwuh.

Pelaksanaan tradisi tersebut akhirnya disederhanakan dengan menampilkan kesenian Jathilan. Sedangkan 700 nasi takhir yang sudah disiapkan tetap dibagikan kepada pengunjung pantai.

2. Gus Miftah tidak setuju dengan tindakan anarkis tersebut

KH. Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah mengecam oknum yang melakukan perusakan properti sedekah laut Pisungsung Jaladri.

Dia menilai orang-orang yang melakukan perusakan itu tidak memahami kegiatan budaya daerah setempat.

"Banyak orang yang gagal paham atau salah paham atau pahamnya salah. Menurut saya selama labuhan itu tujuannya nguri-nguri budaya, saya enggak ada masalah. Tetapi kalau itu sifatnya ubudiyah, itu jelas salah," katanya, Sabtu (13/10) malam.

Gus Miftah tidak membenarkan perusakan itu karena, menurutnya, Islam tidak mengajarkan tindakan anarkis.

Maka dari itu, perlu ada edukasi kepada masyarakat bahwa kegiatan tersebut adalah bagian dari pelestarian budaya.

3. Kadisbud Bantul mengatakan sedekah laut merupakan bagian dari objek wisata

Pihak pemerintah setempat berupaya melakukan pelestarian budaya dengan menghidupkan kembali tradisi yang sudah mulai ditinggakan.

Dengan adanya dana stimulan dari pemerintah melalui dana keistimewaan, sedekah laut Pisungsung Jaladri menjadi salah satu event budaya untuk menarik wisatawan.

"Sedekah laut itu hanya sekadar event budaya. Bukan sebuah ritual khusus," kata Kepala Dinas Kebudayaan Bantul, Sunarto, Minggu (14/10).

"Sedekah laut itu menjadi daya tarik tersendiri sebuah objek wisata," tambahnya.

4. MUI: Tradisi sesajen bisa dimodifikasi

Ketua Komisi Hukum MUI Pusat M. Baharun mengatakan, tradisi sesajen dapat dimodifikasi dengan menyedekahkan fakir miskin di pesisir laut yang membutuhkan dengan isi sesajen.

Tradisi kan bukan keyakinan atau rukun agama, bisa dimodifikasi sesuai anutan dan akidah keimanan dalam agama, supaya tidak bertentangan. Cara Wali Songo mengompromikan tradisi sehingga dapat kompatibel dengan agama sangat bagus,” ungkap Baharun.

Baca Juga:

5. Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid juga tidak setuju dengan pengrusakan tersebut.

Dia menjelaskan, argumentasi tidak disampaikan dengan cara merusak atau menghancurkan hal yang dianggap menyimpang oleh Islam.

Tugas kita itu hanya mengajak, mengingatkan urusan apakah mereka mengikuti ajakan kita atau tidak itu bukan tanggung jawab kita. Karena hanya Allah yang berhak memberikan petunjuk (hidayah) kepada seseorang,” ujarnya.

Zainut juga meminta agar Muslim tidak asal menghakimi, apalagi sampai merusak.

Menurutnya hal ini dapat menimbulkan tuduhan mengganggu keyakinan orang lain.

Karena kita tidak tahu, apakah masyarakat yang melaksanakan upacara adat itu semuanya beragama Islam,” tutupnya.

Nah bagaimana kalau menurut Anda?
SHARE ARTIKEL