Rokok Dituduh Jadi Biang Kerok Kemiskinan dan Lemahnya Pertumbuhan di Indonesia, Benarkah?

Penulis Alif Hamdan | Ditayangkan 16 Aug 2018
Pajak rokok memang tertinggi di Indonesia, tapi kenapa kok malah merugikan negara??

Tidak menguntungkan malah merugikan negara disebut-sebut gerus uang negara hingga 160 triliun. dan diduga penyebabnya bukan karena perusahaan rokok, melainkan karena faktor berikut ini...


Rokok Dituduh Jadi Biang Kerok Kemiskinan dan Lemahnya Pertumbuhan di Indonesia, Benarkah?Image from merdeka.com

Indonesia masuk ke dalam jajaran negara dengan jumlah perokok aktif terbesar di dunia, setelah China dan India, seperti yang dilansir oleh merdeka.com.

Data kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi perokok di Indonesia memiliki tren yang cenderung meningkat dari 27 persen pada 1995 menjadi 36,3 persen pada 2013.

Tidak hanya itu, WHO Report on the Global Tobacco Epidemic 2017 menyebutkan prevalensi perokok di Indonesia pada pria sebesar 64,9 persen, sedangkan wanita sebesar 2,1 persen.

Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Indonesia saat ini tengah mengalami darurat rokok.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, membeberkan 10 komoditas terbesar pembentuk garis kemiskinan di Indonesia pada 2018.

Penyumbang kemiskinan terbesar masih didominasi oleh kebutuhan pokok yaitu beras dan makanan lainnya, lalu disusul oleh konsumsi rokok filter pada posisi ketiga.

Menteri Bambang secara khusus menyoroti konsumsi rokok yang berkontribusi besar terhadap kemiskinan. Menurutnya hal ini harus ditekan agar pendapatan yang diperoleh dapat dialihkan kepada kebutuhan lain yang lebih bermanfaat.

"Misalkan Rp 160.000 kalau dibeliin telur jelas lebih bermanfaat dari pada dibeliin rokok kretek. Jadi memang ini salah satu tugas besar kita untuk bisa menciptakan kesadaran pada keluarga Indonesia untuk mengurangi konsumsi yang tidak hanya produktif tapi juga ini bermasalah secara kesehatan," ujar Menteri Bambang di Kantornya, Jakarta, Kamis (19/7).

Menteri Bambang mengatakan, konsumsi rokok secara bekepanjangan tidak hanya berdampak pada peningkatan kemiskinan tetapi juga akan berdampak buruk bagi keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).

"Karena jangka pendek dia keluarkan duit untuk rokok, jangka panjang dia akan keluar duit untuk kesehatan. Dan itu korbannya siapa? BPJS kesehatan. Semakin banyak orang menggunakan uang untuk rokok ujungnya nanti di BPJS kesehatan karena merekalah penanggung ketika orang yang ngerokok sakit atau harus dirawat," jelasnya.

Baca juga : Menjadi Negara Ke-3 Paling Bahagia Sedunia, Tak Disangka Orang Denmark Suka ke Kuburan

Rokok saat ini disebut-sebut sebagai biang kerok kemiskinan dan melemahnya pertumbuhan ekonomi. Berikut uraiannya:

1. Ekonomi membaik jika perokok berkurang

Rokok Dituduh Jadi Biang Kerok Kemiskinan dan Lemahnya Pertumbuhan di Indonesia, Benarkah?

Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDG's Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Arum Atmawikarta mengatakan perekonomian Indonesia akan lebih baik jika jumlah perokok berkurang.

"Kita harus yakin bahwa mengendalikan konsumsi rokok, membuat masyarakat sehat, perekonomian tumbuh berkualitas dan dilandasi oleh masyarakat yang sehat," ungkapnya dalam diskusi di Grand Cemara Hotel, Jakarta, Selasa (14/8).

Menurut dia, masyarakat Indonesia, terutama pekerja akan lebih produktif jika kebiasaan merokok dapat dikurangi. Hal tersebut tentu akan berdampak pada kinerja perekonomian yang lebih baik.

"Pekerja yang sehat itu lebih produktif dibandingkan pekerja yang merokok. Karena dia butuh waktu untuk merokok. Itu belum kalau dia sakit. Saat sakit dia tidak bisa bekerja,"

"Rokok itu harus disamakan dengan alkohol. Kalau Alkohol dibatasi, maka rokok juga harus dibatasi," imbuhnya.

Tentu dengan kebijakan yang mengurangi serta membatasi kebiasaan merokok, Pemerintah harus lebih kreatif mencari potensi-potensi baru untuk mendukung perekonomian atau dengan kata lain mencari potensi penerimaan negara selain dari cukai rokok.

"Sebenarnya perekonomian Indonesia dapat lebih baik saat semua masyarakat sehat. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh diserahkan pada industri yang menyakiti paru-paru masyarakat. Pemerintah tidak boleh kecanduan terhadap penerimaan dari cukai rokok."

"Mereka selalu bilang cukai rokok ini Rp 150 triliun. Pemerintah harus lebih cerdas lagi menggali sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang sehat," tandasnya.

Baca juga : Fakta Viral, Sri Mulyani Siap Jual Bali Demi Bayar Utang Indonesia

2. Habiskan uang negara Rp 160 triliun

Rokok Dituduh Jadi Biang Kerok Kemiskinan dan Lemahnya Pertumbuhan di Indonesia, Benarkah?

Wakil kepala pusat ekonomi syariah FEB UI, Abdilah Ahsan mengatakan kebiasaan merokok tidak memberikan keuntungan finansial kepada negara.

Bahkan, uang negara yang digerus dalam bentuk pelayanan kesehatan bagi penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok mencapai Rp 160 triliun per tahun.

"Dampak dari merokok yang harus ditanggung negara melalui sistem pelayanan kesehatan itu setiap tahun negara harus mengeluarkan uang sekitar Rp 160 triliun," ungkapnya dalam diskusi di Grand Cemara Hotel, Jakarta, Selasa (14/8).

Dia menambahkan, jumlah anggaran yang harus dikeluarkan ini tentu lebih besar dibandingkan dengan total pendapatan negara yang diperoleh dari cukai hasil tembakau (HT).

Sebagai informasi, pada tahun 2017, penerimaan negara dari cukai mencapai Rp 150,81. Cukai hasil tembakau (HT) menyumbang porsi terbesar yakni Rp 145,47 triliun.

"Coba kita bayangkan pendapatan yang kita dapat dari cukai rokok itu berapa? Dampak yang harus ditanggung negara itu jauh lebih besar," tandasnya.

3. Harga rokok murah

Rokok Dituduh Jadi Biang Kerok Kemiskinan dan Lemahnya Pertumbuhan di Indonesia, Benarkah?
Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDG's Bappenas, Arum Atmawikarta berharap harga rokok dapat dinaikkan. Dengan demikian kebiasaan merokok terutama di kalangan pelajar dapat dikurangi.

Menurut dia, harga rokok sebaiknya dinaikkan menjadi Rp 10.000 per batang. Dengan begitu diharapkan akses terhadap rokok apalagi dari generasi muda dapat dihambat.

"Yang realistis berapa. Kalau saya pakai teori uang jajan sekolah. Jadi kalau ibu-ibu beri uang jajan Rp 10.000. Kalau kita mau supaya anak-anak tidak merokok, maka satu batang rokok minimal harganya Rp 10.000. Jadi kalau 12 batang (satu bungkus) Rp 120.000," kata

Dia menambahkan, harga rokok eceran yang dijual saat ini terlalu murah. Murahnya harga rokok inilah yang menyebabkan rokok mudah didapatkan.

"Rata-rata harga rokok itu Rp 15.000 per bungkus. Selain itu bisa juga dibeli per batang satu batang harganya Rp 1.500, bahkan ada Rp 600, Rp 400," tegasnya.

Namun demikian, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo menegaskan bahwa harga rokok di Indonesia terbilang sangat tinggi.

Bahkan, harga rokok di Indonesia lebih tinggi dari negara-negara seperti Jepang, Korea, China, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.

Penilaian tersebut berdasarkan indeks keterjangkauan yang diukur melalui rasio Price Relative to Income (PRI), rasio yang memperhitungkan faktor daya beli ke dalam analisa keterjangkauan harga.

"Kalau dibandingkan dengan harga rokok terhadap pendapatan per kapita, harga rokok Indonesia relatif mahal dibandingkan negara-negara lainnya," ucap Yustinus di Jakarta.

Menurut Yustinus, industri rokok nasional akan terpuruk jika harganya dinaikkan. "Industri Hasil Tembakau saat ini sudah memasuki sunset industry. Ini akan berdampak dari hulu ke hilir, mulai dari petani, buruh, sampai pengasong. Ini harus dipikirkan," ucap dia.

Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan juga mengatakan harga rokok di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Faktor daya beli masyarakat dalam lima tahun terakhir ini menjadi acuannya.

"Kalau secara nominal absolut memang benar. Tapi kalau mempertimbangkan daya beli, rokok di Indonesia sudah mahal," kata kata Kepala Sub Direktorat Komunikasi dan Publikasi Ditjen Bea Cukai Deni Surjantoro beberapa waktu lalu.

Baca juga : Viral Bule Tampar Petugas Bandara Ngurah Rai, Tak Disangka Ini Komentar Warga Inggris

4. Pengeluaran masyarakat untuk rokok tinggi

Rokok Dituduh Jadi Biang Kerok Kemiskinan dan Lemahnya Pertumbuhan di Indonesia, Benarkah?
Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) meluncurkan hasil penelitian terkait efek konsumsi rokok terhadap kemiskinan dan kejadian stunting di Indonesia.

Salah satu hasil yang didapatkan, perilaku merokok turut berdampak pada sisi biaya belanja rokok, yang membuat orang tua seakan mengabaikan masa depan sang anak serta mempertinggi probabilitas angka rumah tangga miskin di masa mendatang.

"Menurut data rumah tangga yang sama dari 1993 sampai 2014, konsumsi proporsi rokok meningkat 2 persen. Peningkatan pengeluaran rokok diikuti dengan proporsi penurunan konsumsi makanan, seperti karbohidrat, ikan dan daging," katanya di Ruang Venezia, Four Points, Jakarta, Senin (25/6).

Mengacu data Indonesia Family Life Survey (IFLS), pengeluaran rumah tangga untuk rokok memang mengalami kenaikan dari 3,6 persen pada 1993 menjadi 5,6 persen pada 2014.

Kenaikan tersebut turut dibarengi penurunan pengeluaran penting seperti makanan sumber protein (ikan dan daging) dari 10,1 persen (1993) jadi 6,8 persen (2014), serta sumber karbohidrat dari 8,6 persen (1993) menjadi 7,3 persen (2014).

Teguh pun menekankan, kebiasaan merokok ini juga dinilainya punya dampak untuk masa depan generasi muda selanjutnya.

Bukan hanya karena alokasi belanja rumah tangga yang tergerus saja, tapi juga pengaruhnya terhadap kecerdasan seseorang yang gemar merokok sedari dini.

"Merokok yang sifatnya adiktif ini punya dampak untuk masa depan generasi selanjutnya. Prevelensi perokok usia muda yang umurnya 21-30 tahun terus meningkat".

"Salah satu yang dikorbankan adalah makanan, sehingga kualitas (anak) akan rendah. Kualitas rendah akan mempengaruhi kecerdasan dan produktifvitasnya yang juga akan rendah," tutur dia.

Menurut acuan IFLS pada 2014, hampir 32 persen populasi di Tanah Air adalah perokok aktif. Sedangkan prevelensi perokok usia muda mengalami peningkatan signifikan selama kurun waktu 1993-2014.

Perokok usia 11-20 tahun mengalami peningkatan dari 1,79 persen (1993) menjadi 7,73 persen (2014). Sementara itu, prevelensi perokok usia 21-30 tahun juga melonjak dari 14,5 persen (1993) menjadi 23,6 persen (2014).

Selain itu, IFLS pun melansir, pengeluaran rokok di masa lalu juga berkaitan dengan kemiskinan di masa mendatang. Peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas rumah tangga menjadi miskin baik sebesar 6 persen.

Hal itu diduga karena pengeluaran rokok menyebabkan rumah tangga menggeser pengeluaran yang sifatnya produktif dan investasi sumber daya manusia.
SHARE ARTIKEL