Guru Hukum Muridnya Jilati WC, Harusnya Begini Cara Cerdas Menghukum Murid Nakal

Penulis Taufiq Firmansah | Ditayangkan 16 Mar 2018

Guru Hukum Muridnya Jilati WC, Harusnya Begini Cara Cerdas Menghukum Murid Nakal
Foto via youtube.com

Meski hukuman karena bersalah, harusnya yang mendidik

Menghukum murid yang bersalah, memang perlu dilakukan namun bagaimana hukuman itu menjadi didikan atau pelajaran agar murid salah itu tidak mengulanginya, tak harus yang membuat jera dengan memukul atau kekerasan lainnya, hanya saja gimana cara cerdas menghukum murid bersalah yang harus dilakukan.

Dalam sebuah kelas, pasti terdapat siswa yang “nakal”. Untuk menghadapi siswa yang nakal tersebut pasti seorang guru akan member sebuah hukuman untuk siswa tersebut.

Bagi guru-guru yang sudah senior mungkin itu bukan hal yang sepele, karena mereka sudah tahu secara jelas bagaimana cara menghadapi siswa yang nakal tersebut.

Baca juga :Jelas Orang Tua Salah, Karena Cemburu, Kakak 4 Tahun ini Bunuh Adik Bayinya

Bagaimana dengan guru pemula? Jelas masalah tersebut bukan masalah yang sepele.

Karena biasanya guru pemula yang masih minim pengalaman akan kebingungan bagaimana cara menghadapi siswa yang nakal tersebut.

Dan juga biasanya guru pemula masih dianggap kurang berwibawa di mata siswa.

RM, seorang guru SD Negeri Cempedak Lobang, Kecamatan Sei Rampah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, diduga menghukum siswanya menjilati WC.
Ia kemudian dimutasi.

Kepala Dinas Pendidikan Serdang Bedagai, Joni Walker Manik, mengatakan, pihaknya sudah menjatuhkan sanksi terhadap oknum guru RM atas tindakannya.

"Berdasarkan hasil pemeriksaan yang kami lakukan, guru tersebut memberikan hukuman kepada murid karena tidak mengerjakan tugas. Kami sudah memberikan sanksi terhadap guru RM berupa mutasi ke salah satu SD negeri di Tebing Tinggi," ujar Manik saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/3/2018) malam.

Joni mengatakan, pihak Dinas Pendidikan sudah meminta keterangan dari RM sejak Senin (12/3/2018) hingga Selasa (13/3/2018) terkait peristiwa yang menghebohkan tersebut.

Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari oknum guru RM, dirinya memberikan hukuman kepada muridnya, MB, karena tidak membawa bahan yang disuruh untuk dibawa ke sekolah.

Selain memberikan sanksi mutasi terhadap guru RM, Dinas Pendidikan juga tengah berusaha mengembalikan suasana belajar-mengajar di sekolah tersebut agar kembali tenang dan kondusif.

Baca juga :Nonjok Orangtua yang Bebaskan Anak Main HP, Kejadian ini Jadi Pelajaran Keras

Joni Walker Manik mengatakan, guru RM mengaku khilaf dengan tindakannya.

"Namanya manusia, pasti ada kesilapan," katanya, dikutip dari Kompas.com.

"Namun, kami tidak bela guru tersebut."

"Kami melakukan pembinaan dan memberikan sanksi atas tindakannya," ujar dia.

Sebelumnya, orang tuasang murid, SH, mengatakan anaknya dihukum karena tidak membawa tugas tanah kompos seperti yang disuruh gurunya itu.

Baru empat kali menjalankan hukuman menjilati WC, menurut SH anaknya muntah.

Menurut SH, tindakan ini terjadi pada pekan lalu.

Dia mendapat kabar tak mengenakkan ini dari temannya.

Mendapat kabar tersebut, suami SH pun mendatangi pihak sekolah.

SH mengatakan, dia tidak keberatan jika anaknya dihukum membersihkan WC.

Namun, jangan sampai menjilat WC.

LIHAT VIDEONYA BERIKUT INI : 


Memberi hukuman kepada siswa sebenarnya sah-sah saja, tapi harus memperhatikan beberapa poin penting. Seperti yang di tulis Rahman Mourinho di Kompasiana poin-poin tersebut adalah :

1. Hukuman harus bisa memberikan efek jera kepada siswa
2. Hukuman harus bersifat mendidik atau edukatif
3. Hukuman tidak digunakan untuk mempermalukan siswa

Kenapa siswa tersebut dihukum, sebenarnya itu terjadi karena berbagai faktor, seperti yang dikemukakan Bp. Abdul Hamid dalam blognya :

Mengapa seorang guru menghukum muridnya? Menurut Mamiq Gaza dalam artikelnya yang berjudul Pedoman Pendidikan Tanpa Kekerasan Guru menghukum siswa dengan bijak, beliau menyebutkan faktor-faktor siswa dihukum nyaitu:

  1. Warisan generasi sebelumnya
  2. Tidak tertancapnya tujuan pengembangan siswa
  3. Keterbatasan guru pada ilmu psikologi perkembangan anak
  4. Minimnya kreativitas pendekatan guru
  5. System sekolah

Mamiq gaza juga menyebutkan juga dalam artikel yang sama tentang prosedur cara memberikan hukuman pada anak nyaitu:
  • Jenis hukuman yang diberikan perlu disepakati di awal bersama anak
  • Jenis hukuman yang diberikan harus jelas sehingga anak dapat memahami dengan baik konsekuensi kesalahan yang dilakukan.
  • Hukuman harus dapat terukur sejauh mana efektivitas dan keberhasilannya dalam mengubah perilaku anak.
  • Hukuman harus disampaikan dengan cara yang menyenangkan, tidak disampaikan dengan cara menakutkan apalagi memunculkan trauma berkepanjangan.
  • Hukuman tidak berlaku jika ada stimulus diluar control. Artinay siswa melakukan kesalahan karena sesuatau yang tidak ia ketahui sebelumnya atau belum disepakati/belum dipublikasikan di awal.
  • Hukuman dilaksanakan secara konsisten.
  • Hukuman segera diberikan jika perilaku yang tidak diinginkan muncul. Penundaan akan berakibat pada biasnya tujuan hukuman yang diberikan.
Menurut Drs. Marijan, tokoh  pendidikan kita Ki Hajar Dewantara  berpesan mengemukakan pendapatnya bahwa dalam memberikan hukuman kepada anak didik, seorang pendidik harus memperhatikan 3 macam aturan:

1. Hukuman harus selaras  dengan kesalahan.
Misalnya, kesalahannya memecah kaca hukumnya mengganti kaca yang pecah  itu  saja. Tidak perlu ada tambahan tempeleng atau hujatan yang menyakitkan hati. Jika datangnya terlambat  5 menit maka pulangnya ditambah 5 menit. Itu namanya  selaras.  Bukan datang terlambat 5 menit kok hukumannya mengintari lapangan sekolah 5 kali misalnya. Relasi apa yang ada di sini ? Itu namanya hukumn penyiksaan.

2. Hukuman harus adil.
Adil harus  berdasarkan atas rasa obyektif, tidak memihak salah satu dan membuang perasaan subyektif. Misalnya siswa yang lain  membersihkan ruangan kelas  kok ada siswa yang hanya duduk – duduk sambil bernyanyi-nyanyi tak ikut  bekerja.  Maka hukumannya supaya ikut bekerja sesuai dengan teman-temannya dengan waktu ditambah  sama dengan keterlambatannya tanpa memandang siswa mana yang melakukannya.

4. Hukuman harus lekas dijatuhkan.
Hal ini bertujuan agar siswa segera paham hubungan dari kesalahannya.  Pendidik pun harus jelas menunjukkan pelanggaran yang diperbuat siswa. Dengan harapan siswa  segera tahu dan sadar mempersiapkan  perbaikannya. Pendidik tidak diperkenankan asal memberi  hukuman sehingga siswa bingung menanggapinya.

Itulah wasiat Ki Hajar Dewantara yang dapat kita digunakan  sebagai pedoman  dan pertimbangan oleh kita sebagai guru / kepala sekolah yang sering mengangkat dirinya berfungsi ganda.

Pertama berfungsi sebagai polisi, kemudian jaksa dan sekaligus  sebagai hakim  di sekolahnya. Guru/kepala sekolah memang mempunyai hak dan superioritas yang tinggi terhadap siswanya.

Hal ini boleh kita lakukan asalkan tidak merugikan anak didik. Hal itulah yang menuntut pendidik bersifat bijak , sehingga hukuman tak boleh semena-mena terhadap anak didik.

Baca juga :Dalam Islam, Khitan Bagi Perempuan adalah Hal Wajib?

Hukuman yang boleh diberikan kepada siswa
Hukuman dimaksudkan agar setiap pelanggaran terhadap aturan yang ada mampu diminimalisir. Hukuman di dunia pendidikan, khususnya hukuman yang diberikan guru kepada siswa perspektifnya jauh lebih kompleks dari hukuman secara umum.

Kadang, pelanggaran yang dilakukan siswa justru akan lebih baik jika tidak perlu diberi sanksi atau hukuman, karena hukuman guru kepada siswanya tidak berarti guru benci kepada siswa tersebut, tetapi justru sebaliknya.

Hukuman guru kepada siswa tidak sekadar bermaksud agar tidak mengulangi lagi pelanggaran tersebut, tetapi lebih dari itu, hukuman tersebut juga dapat membuat siswa lebih baik dari sebelumnya.

Pada kasus lainnya, hukuman harus mampu memberi pendidikan lebih kepada siswa. Oleh karena itu, hukuman guru kepada siswa lebih bersifat mendidik. Siswa harus mampu merasakan manfaat hukuman tersebut pada dirinya.

Hukuman di sekolah juga harus memperhatikan banyak faktor. Oleh karena itu, sangat sulit sekolah menyusun SOP pemberian hukuman kepada siswa yang bersalah.

Sejatinya sekolah atau guru harus mampu menerapkan pemberian hukuman secara selektif. Harus memerhatikan faktor individual siswa, faktor penyebab kesalahan, faktor gender, faktor riwayat siswa, dan lainnya. Berdasarkan hal tersebut, terkadang kesalahan yang sama tetapi hukuman harus berbeda.

Hukuman juga boleh diberikan hanya jika hukuman tersebut jelas kaitannya dengan kesalahan yang dilakukan siswa.

Tidak mengerjakan PR misalnya, hukumannya jangan sampai membersihkan WC atau berlari keliling lapangan upacara. Apa hubungannya tidak mengerjakan PR dengan hukuman tersebut?

Hukuman yang dilarang diberikan kepada siswa
Secara garis besar hukuman yang dilarang di sekolah ada dua yakni hukuman keras pisik dan psikis.

Memberi hukuman keras sehingga menyebabkan siswa kesakitan pisik ataupun psikisnya tidak boleh lagi dilakukan oleh guru.

Memukul siswa tentu bukan lagi hukuman guru kepada siswa, tetapi sudah masuk tindak kekerasan. Begitu pula jika siswa dimaki-maki dengan julukan yang menyakiti perasaan atau psikis (bullying).

Hukuman keras yang diberikan kepada siswa oleh guru tidak akan pernah berdampak positif terhadap perkembangan siswa itu sendiri.

Mungkin dapat menjadi solusi instan terhadap pelanggaran yang dilakukan siswa, namun jangka panjangnya akan menjadi “bola salju” akan kebencian siswa terhadap guru atau sekolahnya. Jangan samakan dunia pendidikan khususnya institusi pendidikan sekarang dengan yang dulu.

Mungkin 20 atau 30 tahun lalu, hukuman keras guru kepada siswa masih bisa ditolerir, bahkan ada yang beranggapan bahwa keberhasilan para pemimpin dan pengusaha saat ini adalah berkat hukuman keras dari guru kepada mereka sewaktu bersekolah. Benarkah anggapan tersebut? Mungkin benar tetapi mungkin pula salah.

Pada saat guru marah sehingga tidak lagi terkontrol emosinya, juga dilarang memberikan hukuman pada siswa.

Perlu kembali diingat bahwa konotasi hukuman guru memang bukan kebencian kepada siswa tapi justu rasa sayang. Namun, guru juga manusia yang punya marah dan emosi, apalagi jika pelanggaran siswa telah melampaui batas toleransi hubungan guru dengan siswa.

Kasus seperti ini mungkin saja terjadi, namun pada saat yang sama hal tersebut juga merupakan ujian seorang yang berprofesi sebagai guru. Pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) kejadian seperti ini kadang terjadi.

Oleh karena itu, sebelum hal demikian nyata, perlu disikapi beberapa hal antisipatif antara lain: terapkan dengan maksimal guru sebagai pendidik, jadilah guru sebagai idola/dicintai siswa, gap hubungan guru dan siswa jangan dibiarkan menganga dengan lebar, rumah tangga serta lingkungan siswa sebaiknya menjadi bahan informasi sekolah tentang siswa, dan lain sebagainya.

Kesimpulannya, bahwa hukuman atau sanksi guru terhadap siswa haruslah merupakan bagian dari pendidikan. Guru tidak harus alpa dalam memberi hukuman sebagaimana hukuman yang boleh diberikan, tetapi jangan sampai guru juga obral dalam menghukum siswa, apalagi hukuman yang dilarang diberikan kepada siswa.
SHARE ARTIKEL