Memahami Doa Rabithah Hingga Hukum Mengamalkanya

Penulis Rosi N. | Ditayangkan 31 Jul 2017
Memahami Doa Rabithah Hingga Hukum MengamalkanyaHukum doa rabithah © wajibbaca.com.

Kekuatan sejati bagi umat Islam adalah ketika sedang menengadahkan tangan seraya memohon ampun dan berharap harapan terkabulkan lewat doa.

Doa merupakan hal terbesar yang dianugerahkan Allah SWT kepada kita semua sebagai mahkluk-Nya.

Maka dari itulah, kita harus memperbanyak amal kebaikan di dunia ini dengan beribadah salah satunya adalah dengan berdoa.

Selain berdoa merupakan anjuran, yakni lengkap dengan tata cara dan juga adab-adab yang telah tertera di dalam Al-Qur'an dan As Sunnah.

Namun tahukah bahwa ternyata ada doa yang dirangkai dari para pendahulu, yang mana bisa dijadikan sebagai doa sehari-hari dalam memanjatkan hajad?

Itulah doa rabithah, yang pasti ada beberapa orang yang belum mengetahui makna dari bacaan tersebut.

Lantas, apa yang dimaksud dengan bacaan Rabithah tersebut, dan apa maknanya?

Doa Rabithah dalam Islam

Berbicara mengenai doa-doa dalam Islam, sudah banyak kita mengetahui bahwa arti dan fungsi dari doa yang selalu kita panjatkan adalah bentuk pengharapan seorang hamba kepada Rabbnya.

Seperti pada ulasan kali ini, dimana doa yang menjadikan sebuah pertanyaan apakah boleh dibaca atau tidak karena merupakan susunan dari manusia, yakni bacaan rabithah atau doa penyatu hati.

Doa Rabithah adalah adalah doa yang disusun pertama kali oleh Al Ustadz Syahidul Islam, Hasan Al Banna Rahimahullah,  yang isinya sangat bagus, dan termaktub dalam rangkaian wirid Al Ma’tsurat.

Karena doa ini ada dalam Al Ma’tsurat, banyak yang menyangka bahwa itu adalah doa yang ma’tsur, padahal bukan. Itu adalah susunan dari Syaikh Al Banna sendiri.

Bacaan Doa Rabithah

Seperti inilah kiranya doa tidak ma’tsur, yakni doa Rabithah dan terjemahan yang perlu untuk diketahui.

اَللّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذِهِ الْقُلُوْبَ , قَدِ اجْتَمَعَتْ عَلَي مَحَبَّتِكَ
وَالْتَقَتْ عَلَى طَاعَتِكَ, وَتَوَحَّدَتْ عَلَى دَعْوَتِكَ 
وَتَعَاهَدَتْ عَلَى نُصْرَةِ شَرِيْعَتِكَ 
فَوَثِّقِ اللَّهُمَّ رَابِطَتَهَا, وَأَدِمْ وُدَّهَا، وَاهْدِهَا سُبُلَهَا 
وَامْلَأَهَا بِنُوْرِكَ الَّذِيْ لاَ يَخْبُوْا 
وَاشْرَحْ صُدُوْرَهَا بِفَيْضِ الْإِيْمَانِ بِكَ, وَجَمِيْلِ التَّوَكُّلِ عَلَيْكَ 
وَاَحْيِهَا بِمَعْرِفَتِكَ، وَأَمِتْهَا عَلَى الشَّهَادَةِ فِيْ سَبِيْلِكَ 
إِنَّكَ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرِ 
اَللَّهُمَّ أَمِيْنَ

Allahumma innaka ta'lamu anna hadzihil qulub, qadijtama-at 'alaa mahabbatik,

wal taqat 'alaa tha'atik, wa tawahhadat 'alaa da'watik,

wa ta ahadat ala nashrati syari'atik.

Fa watsiqillahumma rabithataha, wa adim wuddaha,

wahdiha subuulaha, wamla'ha binuurikal ladzi laa yakhbu,

wasy-syrah shuduroha bi faidil imaanibik,

wa jami' lit-tawakkuli 'alaik, wa ahyiha bi ma'rifatik,

wa amitha 'alaa syahaadati fii sabiilik...

Innaka ni'mal maula wa ni'man nashiir.

Artinya:

Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui bahawa hati-hati ini, telah berhimpun di atas dasar kecintaan terhadapmu,

bertemu di atas ketaatan kepada-Mu dan bersatu bagi memikul beban dakwah-Mu, hati-hati ini telah mengikat persetiaan untuk menolong meninggikan syariat-Mu.

Oleh itu Ya Allah, Engkau perkukuhkan ikatannya dan Engkau kekalkan kemesraan hati-hati ini, tunjukilah hati-hati ini akan jalan yang sebenar,

serta penuhkanlah (piala) hati-hati ini dengan cahaya Rabbani-Mu yang tidak kunjung malap,

lapangkanlah hati-hati dengan limpahan keimanan serta keindahan tawakkal kepada-Mu,

hidup suburkanlah hati-hati ini dengan makrifat (pengenalan yang sebenarnya) tentang-Mu.

(Jika Engkau takdirkan kami mati) maka matikanlah hati-hati ini sebagai para syuhada dalam perjuangan agama-Mu.

Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.

Ya Allah perkenankanlah doa kami...

Itulah doa rabithah dan artinya yang ternyata memunculkan banyak pertanyaan.

Jika ditelisik memang doa tersebut sangatlah tersusun rapi, sehingga banyak yang menyangka jika bacaan tersebut datang dari Allah dan Rasul-Nya.

Padahal tersusun dari manusia seperti ulama.

Oleh karena itulah, muncul pertanyaan bagaimanakah hukum doa rabithah yang dibuat oleh Syaikh Hasan Al Banna? bagaimana hukumnya kalau rutin dibaca?

Baca Juga:

Membaca Doa Rabithah

Membahas persoalan tentang doa rabithah izzatul islam, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menegaskan:

لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيدُ فِي الْعُمْرِ إِلَّا الْبِرُّ

Tidaklah ketetapan Allah dapat ditolak kecuali dengan doa, dan tidaklah menambahkan usia kecuali dengan berbuat kebaikan.

(HR. At Tirmidzi no. 2139, katanya: hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan hasan, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2139. Lihat Juga Shahihul Jami’ No. 7687.

Lihat juga Shahih At Targhib wat Tarhib No.1639, 2489. Lihat juga As Silsilah Ash Shahihah No. 154)

Akan tetapi, jika sampai merutinkan doa tersebut, coba untuk mengingat kembali agar memperbanyak dioa dan dzikir yang sesuai sunnah.

Seperti merutinkan membaca kalimat istighfar sebanyak 3 kali, lalu membaca laailaha illallahu wahdahu laa syarikalah lahul mulku wa lahul hamdu, dan sebagainya.

Lalu kemudian menambahnya dengan bacaan tasbih, tahmid, dan takbir sebanyak 33 kali setiap habis shalat, lalu membaca allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik.

Pun membaca ayat kursi, yang mana semua dibaca setiap sesudah shalat wajib, maka ini sunnah yang dirutinkan, karena begitulah petunjuknya.

Atau bisa dengan membaca doa yang muqayyad (terikat) oleh aktifitas tertentu, seperti doa hendak makan membaca bismillah, doa hendak naik kendaraan "subhanalladzi sakhara lana hadza ..." dan seterusnya.

Dan juga doa-doa sehari-hari selain itu, maka sunnah pula merutinkannya, karena demikianlah petunjuk dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Namun jika sampai merutinkan untuk membaca doa-doa yang berasal dari manusia atau tidak ma’tsur, maka agar tidak jatuh kultus kepada si penyusun doa tersebut, dan jatuh pula kepada bid’ah, sebaiknya tidak dilakukan rutinitas itu.

Baca Juga :

Membaca boleh saja, namun bukan untuk menjadikan pakem baru dan melahirkan anjuran dalam majelis.

Sebab, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah meninggalkan shalat sunah tarawih berjamaah ketika malam ketiga atau keempat, karena Beliau khawatir para sahabat mengira itu adalah wajib.

Jika yang jelas-jelas sunahnya saja –seperti tarawih berjamaah- Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggalkannya, dalam rangka dzari’ah (tindakan preventif) agar tidak dikira sebuah kewajiban.

Apalagi perbuatan yang jelas-jelas pula bukan berasal dari Allah dan RasulNya seperti doa rabithah arab?

Baca Juga :

Jadi bijak dalam beribadah dan benar-benar memahami apa yang telah dianjurkan dan berusaha untuk memperbaiki diri dengan acuan yang telah ada.
SHARE ARTIKEL