Memarahi Anak Itu Ada Aturannya, 2 Hal Ini Harus Anda Perhatikan!

Penulis Cang Karna | Ditayangkan 13 Jun 2017
Memarahi Anak Itu Ada Aturannya, 2 Hal Ini Harus Anda Perhatikan!

Marah, sering kita pakai sebagai pelampiasan emosi dan tekanan perasaan. Sayangnya, kita kerap kurang kontrol ketika meluapkan kemarahan. Misalnya kepada anak. Akibatnya, anak merasa terpukul serta kecewa. Bagaimana cara yang baik memarahi anak?

Kegusaran, berang, amarah, diwujudkan melalui berbagai cara dan bentuk. Ada yang sekadar cemberut dan melakukan aksi diam. Sebagian orang melakukannya dengan suara yang tinggi sambil mencak-mencak. Ada pula yang marah sambil ringan tangan mencubit, menampar bahkan memukul orang yang menjadi sasaran amarahnya.

Bukan rahasia lagi, orangtua kerap memukul anaknya dalam melampiaskan amarahnya. Ulah sang anak yang menjengkelkan menjadi alasan mereka menampar atau memukul. Terlebih lagi bila orangtua menghadapi masalah di kantor, emosi tinggi yang muncul terkadang dilampiaskan kepada anak di rumah.

Pakar psikologi anak remaja DR. Seto Mulyadi. Mengatakan, sudah waktunya para orang tua meninggalkan metode marah primitif dalam mengungkapkan kekesalan kepada putra/putrinya. "Meski marah adalah sifat manusiawi, caranya janganlah sampai merugikan atau menyakitkan hati orang lain. Terlebih lagi sampai menghambat pertumbuhan anak-anak,"

Mereka Ibarat Kaca (Memantulkan apa saja yang ada di depannya)

Memarahi Anak Itu Ada Aturannya, 2 Hal Ini Harus Anda Perhatikan!

Adalah manusiawi pula bila anak tidak suka ditekan atau disudutkan. Karenanya, mengungkapkan kemarahan dengan cara itu, bukan hanya tak efektif dan sampai pada sasaran, tetapi juga dapat menimbulkan sakit hati pada anak.

BACA JUGA : “Mama, Kenapa Kamu Selalu Melihat HP?” Surat si Kecil Untuk Sang Bunda

"Nah, kalau hendak mengungkapkan kemarahan, sampaikanlah dengan mempergunakan dengan konsep pesan diri. Jangan sampai merusak kumunikasi. Karena, pada dasarnya anak tidak ingin divonis dan tidak dihargai.

Pesan diri yang dimaksud adalah mengungkap perasaan atau sikap yang timbul akibat perbuatan anak. Dalam hal ini orang tua menyampaikan kepada putra/putrinya bahwa mereka terganggu dengan perbuatan mereka. Dengan komunikasi yang baik, usahakan anak mengerti persoalan maupun keberatan Anda akibat perilaku mereka. Jangan lagi hanya menuduh, menjelek-jelekkan atau bahkan sampai memukul.

Dengan begitu, lanjut Seto, anak akan mengerti bahwa perilakunya telah menggusarkan dan mengecewakan orang tua. Metode seperti ini secara otomatis akan diserap dan dipraktekkan pula oleh anak kepada setiap orang yang mengganggunya, termasuk orangtua sendiri.

“Anak itu ibarat kaca. Mereka memantulkan apa yang mereka terima dan alami dari orangtuanya. Nah, bukankah lebih baik memberikan 'cahaya' yang baik dan berguna?! Bila mereka menerima bahwa marah tidak identik dengan kekerasan, nantinya mereka akan menerapkan hal tersebut dalam kehidupannya.

Peraih penghargaan The Outstanding Young Persons of the World dari Jaycess International ini memberikan tip yang baik ketika melampiaskan rasa marah. Ketika marah, ujarnya, usahakan agar emosi positif lebih besar daripada emosi negatif. Perbandingannya 75:25.

"Perkembangan emosi seseorang akan sehat bila emosi positifnya lebih besar daripada emosi negatif. Marah memang boleh dan wajar, tapi jangan hanya marah melulu. Tentunya tidak baik bila anak menerima emosi negatif terlalu banyak," papar Seto lagi.

Jangan keburu menyalahkan remaja Anda yang sering tawuran di sekolah, bila Anda sendiri sering memukulnya ketika kesal atau marah. Ketidaksenangannya akan ditampilkan dengan perilaku negatif, seperti berkelahi atau semacamnya. Hal ini bisa di pelajari dari perlakuan orangtuanya kepada dirinya.

Kepada kaum ibu, Seto menekankan pentingnya pemahaman bahwa metode pendidikan anak yang terbaik adalah pendekatan bahasa ibu. Dalam lima tahun pertama usia anak, peran ibu sangatlah besar. Dapat dibayangkan kemungkinan yang terjadi, bila pada usia itu anak sering mengalami luapan emosi negatif dari sang ibu.
Jauhi Kekerasan

Jangan Gunakan Kekerasan!

Memarahi Anak Itu Ada Aturannya, 2 Hal Ini Harus Anda Perhatikan!

Seto juga melihat pentingnya mensimbolisasikan amarah. Artinya, marah tidak harus dengan memukul meja, membanting pintu atau semacamnya. "orangtua harus mengganti kebiasaan itu dengan sikap yang lebih tenang. Dengan diam, misalnya," katanya.

Ketika Anda berdiam kata sambil memandang anak dengan tajam, maka anak akan sadar bahwa perilakunya telah mengganggu atau membuat Anda marah. Sikap seperti ini, menurut Seto, lebih sehat, efektif dan dapat diterima.

Kalaupun hendak memberikan hukuman kepada anak, saran Seto, berikanlah hukuman yang jauh dari kekasaran. Seperti menunda hadiah yang dijanjikan pada anak, bila mereka masih berperilaku tidak sehat. Atau mengurangi/menghentikan uang jajan untuk beberapa waktu.

"Lupakanlah sikap marah yang primitif. Seperti menggebrak meja, membanting pintu hingga memukul anak. Marah jangan diidentikkan dengan kekasaran," ujar Seto lagi.

BACA JUGA : Masih Ingat Sosok Malang Ini? Hampir Setahun Berlalu, Beginilah Wajahnya Sekarang..

Sebaliknya, mulailah marah yang berbudaya, halus dan bernilai seni. Adalah suatu seni tersendiri dapat mengungkapkan amarah tanpa menyakiti hati orang lain. Kunci keberhasilan marah, menurut Seto, adalah keefektifannya. "Bila dengan berdiam diri, tanpa banyak kata, ternyata anak mau mengubah perilaku jeleknya, bukankah itu lebih baik. "Jangan sampai merusak komunikasi."

Jika orangtua sering memukul anak ketika marah, menurut Seto, itu akan mengganggu perkembangan yang sehat dari si anak. "Selain is menjadi anak yang agresif dan sering berperilaku di luar kontrol kewajaran, mereka juga menjadi pribadi yang labil. Karena itulah, kenapa harus memakai kekerasan bila kekerasan itu sendiri tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah baru," paparnya.

Memarahi anak secara primitif, kata Seto, berarti juga membuat anak kehilangan harga dirinya. Akibatnya, akan timbul reaksi atau pemberontakan dari sang anak. Mereka belajar memecahkan masalah dengan marah dan kekerasan, dari orangtuanya. Lalu, timbullah masalah-masalah baru dalam kehidupannya. la selalu berpikir dan bertanya-tanya, Mengapa saya susah sekali menyelesaikan suatu masalah?

Memasuki masa dewasanya nanti, pola-pola pengasuhan dengan kekerasan semakin mempengaruhi daya pikir dan sistem kerjanya. Seto mencontohkan Hitler, seorang pemimpin yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang kurang kasih sayang dan kelemahlembutan.

Memang, menurutnya, tidak selamanya anak-anak yang dibesarkan dengan kekerasan akan bermasalah. Pada suatu saat, is dapat saja sadar dan menjauh dari kekerasan. Pengalaman pribadinya dijadikan cambuk untuk tidak meneruskan penderitaan itu kepada orang lain.

Tetapi Seto mengatakan, tentunya perubahan sikap itu turut dipengaruhi oleh lingkungan dan pergaulan si anak. Pelajaran-pelajaran hidup yang diterima anak sangat mempengaruhinya melewati titik kehidupan tersebut. "Itulah sebabnya, orang-orang di sekitar anak, terutama orangtua, sangat berpengaruh bagi perkembangan mereka," jelasnya lagi.

Berbahayanya, bila di lingkungan luar keluarga pun ia mendapati banyaknya kekerasan dan semosional yang negatif. Anak yang tadinya berperilaku seperti cermin, dapat berubah menjadi kaca pembesar. Kaca yang dapat meneruskan panas hingga mampu membakar, akibat menerima panas pada titik yang pas. Intinya, anak kemungkinan malah melebihi kebiasaan orangtuanya dalam memandang konsep sejauh mana dan bagaimana amarah boleh diluapkan.

Meskipun marah ala primitif dihindari, namun menurut Seto, orangtua jangan pula berlagak malaikat, seolah semuanya berjalan dengan baik. "orangtua cukup berlaku wajar dan manusiawi. Jangan terlalu menerapkan harus begini, harus begitu. Bila harus marah, marahlah apa adanya. Hanya, diarahkan sebagai pesan diri," lanjutnya.

Dengan sering berdiskusi, Anda pun dapat meminta anak sebagai pengontrol emosi Anda ketika sedang marah. "Kalau perlu, minta maaf kepada anak karena Anda telah memarahinya. Putera-puteri Anda pun akhirnya dapat belajar untuk meminta maaf kepada Anda maupun orang lain.

Mungkin sulit dilakukan, sehabis marah Anda meminta maaf pada anak. "Tapi orangtua harus berani berbuat itu. Tidak ada salahnya memulai demi kebaikan bersama. Di situlah letak kemanusiawian kita," jelas Dekan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara, Jakarta. Nah, kenapa tidak Anda mulai dari Sekarang.
SHARE ARTIKEL