"Saya ini anak kampung, Pak. Tapi saya bisa dapat gelar master dari Eropa.”

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 04 May 2017


Youlin Afrineta, salah satu guru Sekolah Sukma Bangsa. Foto: detikcom

"Saya ini anak kampung, Pak. Tapi saya bisa dapat gelar master dari Eropa.”

Dari 30 guru asal Aceh yang mengikuti wisuda program master di aula kampus Tampere University, Finlandia, Jumat dua pekan lalu, Youlin Afrineta sepertinya yang paling muda. Duduk di deret paling belakang, kedua mata anak nelayan di Simeulue itu tampak sembap. Berkali-kali ia mengusap air mata dengan saputangannya.

Ia mengaku tak kuasa menahan haru saat bersama 29 rekannya sesama guru Sekolah Sukma Bangsa (SSB) resmi menyandang gelar master sore itu. “Saya ini anak kampung, Pak. Dari Simeulue ke Lhokseumawe itu perlu dua malam perjalanan. Tapi saya bisa dapat gelar master dari Eropa,” tutur perempuan kelahiran 23 Juli 1991 itu. Sebelum mengajar di SSB Lhokseumawe, dia adalah alumnus di sekolah tersebut.

Pusat gempa pemicu tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 berada di perairan tak jauh dari Simeulue, pulau kecil yang di sebelah barat daratan Aceh. Youlin adalah salah satu penyintas saat tsunami menerjang kampung halamannya kala itu. Ayahnya, yang hanya nelayan kecil di kampungnya, angkat tangan saat putrinya menyampaikan niat melanjutkan sekolah ke SMA.

Pusat gempa pemicu tsunami yang meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 berada di perairan tak jauh dari Simeulue, pulau kecil yang di sebelah barat daratan Aceh. Youlin adalah salah satu penyintas saat tsunami menerjang kampung halamannya kala itu. Ayahnya, yang hanya nelayan kecil di kampungnya, angkat tangan saat putrinya menyampaikan niat melanjutkan sekolah ke SMA.

Selepas kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malikussaleh Jurusan Sastra Inggris, Youlin melamar menjadi guru di SSB tingkat sekolah dasar di Lhokseumawe. “Alhamdulillah, meski baru setahun mengajar, saya dinyatakan lulus mengikuti beasiswa ke Finlandia,” tutur sulung dari lima bersaudara putri pasangan Firdanis dan Narnetih itu.

Profesor bidang pendidikan di kampus kondang Harvard University, Howard Gardner, pernah mengatakan, ”Belajarlah dari Finlandia, negara yang punya sistem pendidikan sangat efektif, walaupun melakukan banyak hal yang berlawanan dengan apa yang kita kerjakan di Amerika Serikat.” Di antara negara-negara Barat, menurut hasil tes Pisa, murid-murid sekolah Finlandia berada di urutan teratas. Apa resep Finlandia menjadi “juara” dalam hal pendidikan?

“Salah satu tugas utama kami adalah menjauhkan politikus dari sekolah,” ujar seorang profesor pendidikan di Finlandia seperti dikutip oleh Sydney Morning Herald.

Sekolah dan guru, yang merupakan profesi sangat terhormat di negara itu, punya wewenang sangat luas untuk menentukan apa yang terbaik bagi murid-muridnya, tanpa campur tangan partai politik, juga orang-orang yang berniat “berbisnis” sekolah.


30 guru asal Aceh di Tampere .Foto: Maina Sara

Sepekan sebelum terbang ke Finlandia, Youlin naik pelaminan dengan lelaki pujaannya. “Suaminya takut Youlin terpikat cowok bule di sini,” canda seorang guru perempuan yang melintas saat kami bercakap-cakap.

Dengan sertifikat master pendidikan di tangan, Youlin bertekad menularkan pengetahuan dan pengalamannya kepada sesama guru di Sukma Bangsa. Juga kepada para guru lainnya di Aceh. “Tantangan pertama adalah bagaimana membangun suasana kelas yang riang. Saya akan memanfaatkan alat peraga yang tersedia di Sekolah Sukma untuk kelengkapan proses belajar-mengajar,” tuturnya.

Baca Juga: Gumpalan Emas Tiba-tiba Muncul Setelah Banjir, Penduduk Disana Mendadak Kaya Raya

Lain pula cerita Maina Sara. Sarjana ekonomi dari Universitas Malikussaleh itu hijrah dari lembaga sosial asing ke SSB tingkat SMA di Pidie pada 2007, sebagai bendahara. Dua tahun kemudian, kemahirannya di bidang akuntansi mendorongnya untuk mengajar mata pelajaran tersebut. “Cita-cita saya sejak SMA memang jadi guru. Di Sekolah Sukma saya merangkap sebagai bendahara,” ujarnya.

Ia menyebut ada empat nilai yang dipelajari tentang sistem pendidikan di Finlandia. Yakni fokus terhadap siswa, kepercayaan, keadilan, respek terhadap diri sendiri sebagai guru dan terhadap orang lain, baik itu perbedaan maupun kemampuan. “Untuk poin terakhir ini teman saya mengaplikasikan dengan saya yang memiliki keterbatasan gerak dengan mensupport saya dalam belajar,” ujar Maina.

Pihak kampus maupun para dosen di Tampere, ia melanjutkan, sangat mensupport terhadap orang dengan kondisi seperti dirinya.” Mereka menyiapkan tongkat dan kursi roda buat saya kalau bepergian jarak jauh,” ujar Maina.


Maina Sara, keliling kota. Foto : Maina Sara

Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Ahmad Baedowi menyebut semangat belajar Maina menjadi sumber inspirasi teman-teman guru lainnya. Ia berharap, dengan semua keterbatasannya, Maina Sara menjelma menjadi seorang master bidang pendidikan yang akan membawa SSB menapaki masa depan kelembagaan pendidikan yang lebih baik di masa depan.

Tak semua guru SSB berasal dari Aceh. Kartika Hakim Syawal Pamulang, misalnya, berasal dari Balikpapan, Kalimantan Timur, dan Adhi Lesmana dari Jakarta. Mereka semua memilih menjadi guru karena panggilan hati. “Semula saya ingin jadi pemain sepak bola, tapi alhamdulillah malah ‘tersesat’ di jalan yang benar dengan menjadi guru,” Adhi berseloroh.

Sebelum bergabung dengan SSB pada 2007, ia mengajar mata kuliah multimedia dan komputer untuk mahasiswa Fakultas Sastra (Sastra China) di Universitas Al Azhar Indonesia selama satu semester. "Saya juga menjadi salah satu pengelola Cambridge International School di kampus yang sama," ujarnya.

Sedangkan Kartika sebelumnya mengajar di sekolah milik Pertamina. “Setahun pertama di Aceh (2014), ibu saya hampir tiap hari telepon. Tapi setelah saya diterima mengajar di Sukma Bangsa, Ibu baru bisa tenteram,” tutur Kartika yang menikah dengan pria asal Aceh. (Detikcom)

SHARE ARTIKEL