Banyak yang Semangat Karena Tidurnya Orang Berpuasa Itu Ibadah! Benarkah Demikian?

Penulis Unknown | Ditayangkan 11 May 2017

Banyak yang Semangat Karena Tidurnya Orang Berpuasa Itu Ibadah! Benarkah Demikian?

Puasa ialah menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Puasa ada yang wajib dan ada yang sunnah. Bagi umat Muslim, puasa ialah rukun islam yang ketiga. Ketika puasa, kita dapat melakukan aktifitas seperti biasa, termasuk tidur siang. Ada yang mengatakan tidurnya orang yang puasa ialah ibadah. Apakah ini benar?

Kita sering mendengar ada sebagian da’i yang menyampaikan bahwa tidur orang yang berpuasa adalah ibadah. Bahkan dikatakan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga dengan penyampaian semacam ini, orang-orang pun akhirnya bermalas-malasan di bulan Ramadhan bahkan mereka lebih senang tidur daripada melakukan amalan karena termotivasi dengan hadits tersebut.

Artikel pilihan : Ketika Dirimu Sudah Berjaya, Yakinkah Sudah Engkau Balas Semua Cinta Ibumu?

Hadits tentang “tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” merupakan hadis yang tidak benar. Hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiallahu ‘anhu. Hadits ini juga disebutkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, 1:242. Bunyinya ialah,

Tidurnya orang yang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, doanya dikabulkan, dan amalnya dilipatgandakan.

Dalam sanad hadis ini terdapat perawi yang bernama Ma’ruf bin Hassan dan Sulaiman bin Amr An-Nakha’i. Setelah membawakan hadis di atas, Al-Baihaqi memberikan komentar, “Ma’ruf bin Hassan itu dhaif, sementara Sulaiman bin Amr lebih dhaif dari dia.

Dalam Takhrij Ihya’ Ulumuddin, 1:310, Imam Al-Iraqi mengatakan, “Sulaiman An-Nakha’i termasuk salah satu pendusta.” Hadits ini juga dinilai dhaif oleh Imam Al-Munawi dalam kitabnya, Faidhul Qadir Syarh Jami’us Shaghir. Sementara, Al-Albani mengelompokkannya dalam kumpulan hadits dhaif (Silsilah Adh-Dhaifah), no. 4696.

Oleh karena itu, wajib bagi seluruh kaum muslimin, terutama para khatib, untuk memastikan kesahihan hadis, sebelum menisbahkannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak boleh mengklaim suatu hadis sebagai sabda beliau, sementara beliau tidak pernah menyabdakannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah memperingatkan,

Sesungguhnya, berdusta atas namaku tidak sebagaimana berdusta atas nama kalian. Siapa saja yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaknya dia siapkan tempatnya di neraka,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ini menghasilkan kesimpulan bahwa hadits “tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah” merupakan hadits yang tidak benar atau dhaif (lemah). Alangkah baiknya kita mengkaji lebih dalam lagi informasi-informasi yang kita dapat.

Banyak yang Semangat Karena Tidurnya Orang Berpuasa Itu Ibadah! Benarkah Demikian?

Artikel pilihan : Berdalih Tak Ingin Menemui Lagi, Salahkah Jika Mengucapkan Talak Lewat Telepon?

Setelah kita menyaksikan bahwa hadits yang mengatakan “tidur orang yang berpuasa adalah ibadah” termasuk hadits yang dho’if (lemah), sebenarnya maknanya bisa kita bawa ke makna yang benar. Sebagaimana para ulama biasa menjelaskan suatu kaedah bahwa setiap amalan yang statusnya mubah (seperti makan, tidur dan berhubungan suami istri) bisa mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk melakukan ibadah. Sebagaimana An Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) mengatakan,

أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ

Sesungguhnya perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan mendapatkan balasan (ganjaran).” Jadi tidur yang bernilai ibadah jika tidurnya adalah demikian.

Ibnu Rajab pun menerangkan hal yang sama, “Jika makan dan minum diniatkan untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai ibadah.” (Latho-if Al Ma’arif, 279-280)

Intinya, semuanya adalah tergantung niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun jika tidurnya adalah tidur dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah.

Jadi ingatlah “innamal a’malu bin niyaat”, setiap amalan tergantung dari niatnya.
SHARE ARTIKEL