4 Obrolan Saat Ibu-Ibu Sudah Ngumpul, yang Berakibat Dosa Besar

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 08 May 2017
4 Obrolan Saat Ibu-Ibu Sudah Ngumpul, yang Berakibat Dosa Besar
carapedia.com

Kalau lagi ngumpul-ngumpul, atau sedang curhat dengan ibu-ibu lainnya, biasa curhatan atau obrolan ibu-ibu seputar ini:

1. Gosipin tetangga

Padahal gosip seperti ini jika yang dibicarakan adalah perihal aib atau hal-hal yang tidak disukai oleh tetangga kita kalau itu tersebar, maka termasuk dalam GHIBAH.

Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam GHIBAH adalah dzikruka akhoka bi maa yakroh.
Dan ingat gosip juga bisa jadi FITNAH (berita yang tidak benar). Jadinya hancurlah kehormatan orang lain.

Lihatlah hadits berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ ». قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ »

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah engkau apa itu ghibah?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Ia berkata, “Engkau menyebutkan kejelekan saudaramu yang ia tidak suka untuk didengarkan orang lain.” 

Beliau ditanya, “Bagaimana jika yang disebutkan sesuai kenyataan?” Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika sesuai kenyataan berarti engkau telah mengghibahnya. Jika tidak sesuai, berarti engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim, no. 2589).

Dalam Al Adzkar (hlm. 597), Imam Nawawi rahimahullah menyebutkan, “Ghibah adalah sesuatu yang amat jelek, namun tersebar dikhalayak ramai.
Yang bisa selamat dari tergelincirnya lisan seperti ini hanyalah sedikit.
Ghibah memang membicarakan sesuatu yang ada pada orang lain, namun yang diceritakan adalah sesuatu yang ia tidak suka untuk diperdengarkan pada orang lain.

Sesuatu yang diceritakan bisa jadi pada badan, agama, dunia, diri, akhlak, bentuk fisik, harta, anak, orang tua, istri, pembantu, budak, pakaian, cara jalan, gerak-gerik, wajah berseri, kebodohan, wajah cemberutnya, kefasihan lidah, atau segala hal yang berkaitan dengannya. Cara ghibah bisa jadi melakui lisan, tulisan, isyarat, atau bermain isyarat dengan mata, tangan, kepala atau semisal itu.”

Termasuk jika yang digosipin adalah suami sendiri. Kecuali jika ada hajat meminta nasihat seperti seorang sahabat wanita yang menceritakan aib suaminya yang SUPER PELIT sampai nafkah pada istrinya kurang.

Kalau meminta nasihat pada orang berilmu untuk menanyakan solusi, boleh. Namun baiknya pertanyaan dibuat dengan kalimat yang seakan-akan bukan suaminya yang berbuat agar tetap bisa menjaga kehormatan suami.

Coba lihat kisah Hindun berikut.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Hindun binti ‘Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ

“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” (HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714)

2. Curhat tentang keadaan suami masing-masing

Ada yang menceritakan kebaikan suami dan ada yang menceritakan kejelekan suami.

Bagaimanapun menceritakan keburukan suami adalah istri yang tidak bersyukur, ghibah sekaligus kufur nikmat.

Yang suami bisa ambil pelajaran bahwa ia baiknya jadi pendengar setia ketika istrinya ingin curhat atau menceritakan kejadian yang ia alami atau ia dengar walaupun mungkin ia tidak tertarik. Sudahlah mendengar saja, walau ada suami yang mendengar sampai ngantuk dan akhirnya tertidur.

Baca Juga: Bener Nggak 6 Rahasia ini Selalu Anda Sembuyikan dari Suami?

3. Gunjing tetangga karena hasad

Hasad adalah sekedar membenci nikmat yang ada pada orang lain itu hilang. Inilah yang jadi qoul (pendapat) dari Ibnu Taimiyah. Beliau menyatakan,

الْحَسَدَ هُوَ الْبُغْضُ وَالْكَرَاهَةُ لِمَا يَرَاهُ مِنْ حُسْنِ حَالِ الْمَحْسُودِ

“Hasad adalah membenci dan tidak suka terhadap keadaan baik yang ada pada orang yang dihasad.” (Majmu’ Al-Fatawa, 10: 111).

Sedangkan menurut jumhur (mayoritas) ulama,
الحسد تمني زوال النعمة التي أنعم الله بها على المحسود ،

Hasad adalah menginginkan nikmat yang Allah beri pada orang lain HILANG.

Contoh, tetangga baru saja ngeluarin mobil baru dari dealer. Terbetiklah dalam hati, walau tidak dinyatakan, “Hmmm, moga mobilnya cepat rusak.”

Perlu dipahami, ada beberapa tingkatan hasad:

• Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang meski tidak berpindah padanya. Orang yang hasad lebih punya keinginan besar nikmat orang lain itu hilang, bukan bermaksud nikmat tersebut berpindah padanya.

• Berkeinginan nikmat yang ada pada orang lain hilang lalu berkeinginan nikmat tersebut berpindah padanya. Misalnya, ada wanita cantik yang sudah menjadi istri orang lain, ia punya hasad seandainya suaminya mati atau ia ditalak, lalu ingin menikahinya. Atau bisa jadi pula ada yang punya kekuasaan atau pemerintahan yang besar, ia sangat berharap seandainya raja atau penguasa tersebut mati saja biar kekuasaan tersebut berpindah padanya.

• Tidak punya maksud pada nikmat orang lain, namun ia ingin orang lain tetap dalam keadaannya yang miskin dan bodoh. Hasad seperti ini membuat seseorang akan mudah merendahkan dan meremehkan orang lain.

• Tidak menginginkan nikmat orang lain hilang, namun ia ingin orang lain tetap sama dengannya. Jika keadaan orang lain lebih dari dirinya, barulah ia hasad dengan menginginkan nikmat orang lain hilang sehingga tetap sama dengannya. Yang tercela adalah keadaan kedua ketika menginginkan nikmat saudaranya itu hilang.

• Menginginkan sama dengan orang lain tanpa menginginkan nikmat orang lain hilang. Inilah yang disebut dengan ghibthoh sebagaimana terdapat dalam hadits berikut.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816)

Lalu adakah obat hasad yang dinilai dosa?
Obatnya disebutkan dalam ayat,

وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا (٣٢)

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain, (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32).

Baca Juga: Akhi..., Boleh Ko' Nggak Shalat Berjamaah, Asal... Anda Termasuk Dua Golongan ini

4. Membicarakan fashion, tas, gamis, sepatu, jam tangan, sampai pakaian dalam.

Obrolan ini bisa jadi di dunia nyata sampai pada dunia media sosial. Contoh Facebook, WhatsApp, BBM, Instagram, Pinterest, Twitter.

Bahkan ada ibu-ibu yang join dengan group atau memfollow beberapa butik ternama, untuk sekedar update model gamis mana yang terbaru.

Kalau beli sewajarnya saja tidak masalah. Namun kalau sudah berlebihan itulah yang tercela. Apalagi bagi wanita itu hanya untuk bergaya dan tampil cantik.

Nasihat kami …

– Cobalah memiliki sifat NARIMO ING PANDUM, alias qona’ah (merasa cukup dengan apa yang Allah beri), tak banyak lirik-lirik rumput tetangga, banyak lihat yang di bawah yang lebih derita daripada terus memandang yang di atas dalam hal dunia, apalagi kalau kita sendiri orang yang tidak berkemampuan.

– Jangan terlalu ikut model kekinian, apalagi yang diikuti gaya-gaya artis atau tauladan yang tidak patut dicontoh.

– Ingat pakaian wanita itu punya syarat-syarat yang tujuan ditetapkannya ini biar menyelamatkan wanita seperti hindari pakaian ketat dan tipis (kaasiyatun ‘aariyaat, berpakaian tetapi telanjang), hindari pakaian yang mengikuti model laki-laki, hindari pakaian yang hanya ingin bertujuan tampil cantik dan menawan, hingga pada menghindari minyak wangi saat keluar rumah.

Nah bonus ini yang kelima. Bila sudah ngaji atau ngerti agama, akan menceritakan problema dakwah pada keluarga.
Ada yang suami belum shalat, ada anak yang malas bangun shubuh, ada anak puteri yang terlalu gaul dan tidak menjaga aurat.

Ini perlu strategi dakwah untuk menyelesaikan masalah di atas. Solusi paling utama: sebagai ibu terus belajar, nasihati terus keluarga, nasihati dengan santun, nasihati dengan tunjukkan akhlak kita yang mulia, nasihati dengan sabar.

BIAR MAJELIS NGUMPUL JADI MANFAAT

1. Buat pengajian dengan mendatangkan ahli ilmu yang biasa mengkaji ilmu secara ilmiah, bukan ustadz pelawak atau sekedar ustadz tenar. Lebih-lebih kalau bisa mengkaji ilmunya secara ta’shilii, lebih berjenjang.

2. Kaji Al-Quran dan saling membetulkan bacaannya, bisa juga sampai menghafalkannya. Kan lumayan kalau ibu-ibu punya hafalan Quran dua atau tiga juz.

3. Kalau lagi ngumpul, saling ingatkan (muroja’ah dan mudzakarah) mengenai pelajaran yang pernah dikaji.

4. Kalau punya waktu luang banyak baca buku atau isi waktu lainnya dengan ibadab sehingga terjauhkan dari hal-hal yang sia-sia.

5. Manfaatkan gadget kita untuk hal yang manfaat, bergabung dengan group atau channel yang bermanfaat sehingga bisa mendapatkan ilmu dari ulama dan para ustadz.

6. Hindari majelis ghibah dan kumpul dengan orang-orang shalih karena sifat sahabat biasa menarik kita, sebagaimana kata pepatah Arab “ash-shohibu saahibun.” Kalau kita berteman dengan orang shalih dan semangat ibadah, maka kita juga akan ikut baik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.” (HR. Abu Daud, no. 4833; Tirmidzi, no. 2378; dan Ahmad, 2:344. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Baca Juga: Tugas Istri Dirumah itu Berat Lho, Sudahkah Beri Hiburan untuk Istri?

Jadi berikut kesimpulan yang berupa nasehat bagi ibu-ibu,

1. Banyak doakan untuk kebaikan diri, suami dan anak-anak.
2. Jadi istri yang taat pada suami, tunjukkan selalu akhlak yang mulia.
3. Jadi istri yang taat ibadah dan rajin pula beribadah sunnah.

Dalam hadits disebutkan,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad 1: 191 dan Ibnu Hibban 9: 471. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج

“Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah dan Rasul-Nya- daripada hak suami” (Majmu’ Al Fatawa, 32: 260)

Semoga Allah memberikan taufik serta hidayah.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
SHARE ARTIKEL