Kisah Sedih, Letnan Pierre Tendean Si Ganteng dari Panorama

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 30 Sep 2016
Kisah Sedih, Letnan Pierre Tendean Si Ganteng dari Panorama
Letnan Pierre Tendean

"Setiap Pierre memimpin parade taruna, sosoknya selalu menarik perhatian," demikian dicatat Pusat Sejarah TNI.

Jadi pusat perhatian kaum hawa, itulah Letnan Pierre Tendean. Rooswidiati, adik Pierre Tendean juga membenarkan kalau kakaknya jadi idola gadis-gadis muda di Bandung saat itu.

"Banyak yang kesengsem. Dia adalah favorit para mahasiswi yang kuliah di sekitar Panorama," kata Roosdiawati dalam kesaksiannya untuk Buku Kunang-Kunang Kebenaran di Langit Malam. Satu lagi kelebihan Pierre, dia mudah bergaul, demikian dikutip dari merdeka.

Para mahasiswi itu tak bisa melepaskan pandangan dari podium. Menhankam/Kasab Jenderal AH Nasution sedang memberikan ceramah di sebuah kampus. Tapi bukannya mata mereka bukan melihat Nasution, melainkan sesosok pria berkulit putih dan bertubuh atletis yang berdiri tegap di belakangnya.

Baca Juga : "Sayatan silet ini memang pedih Jenderal, tapi tak sepedih penderitaan rakyat" Dibalik Dusta G30S/PKI

Pria muda itu Letnan Satu Corps Zeni Pierre Andreas Tendean. Jabatannya, ajudan jenderal Nasution.

Pierre Tendean memang dikenal ganteng. Hingga di kalangan mahasiswi ada joke. "Telinga untuk Jenderal Nasution, tapi mata untuk Letnan Tendean."

Saat menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) dia juga bikin geger cewek-cewek Bandung. Sampai-sampai dijuluki Robert Wagner dari Panorama. Robert Wagner adalah bintang film beken tahun 1950an, sementara Panorama adalah nama daerah di Bandung tempat ATEKAD berlokasi.

Meski begitu, sang adik Rooswidiati, mengingat tak ada gadis yang dipacari kakaknya saat sekolah di ATEKAD. Pierre kelihatan lebih serius menekuni sekolah militernya daripada jalan-jalan dengan para mahasiswi itu.

Pendidikan di ATEKAD menitikberatkan pada bidang konstruksi dan teknik sipil selain bidang kemiliteran. Lama pendidikan untuk menjadi perwira zeni adalah empat tahun.

Jadi tentara memang pilihan hidup Pierre Tendean. Setelah lulus SMA di Semarang, dia enggan mengikuti jejak ayahnya Dr. AL Tendean, seorang dokter berdarah Minahasa. Konon Pierre sengaja mengerjakan tes asal-asalan saat mengikuti ujian Fakultas Kedokteran.

Nah, giliran daftar akademi militer, dia kerjakan dengan sungguh-sungguh. Sudah bisa diduga, akhirnya Pierre jadi taruna angkatan darat tahun 1958. Walau saat itu yang mendukung hanya Mitzi, kakak sulungnya.

Ibu Pierre adalah Maria Elisabeth Cornet, seorang wanita indo berdarah Prancis. Dari ibunya Pierre memperoleh kulit putih dan tubuh tinggi.

Operasi penumpasan pemberontakan di Sumatera jadi pengalaman tempur pertama. Saat itu Pierre masih Kopral Taruna. Dia diberi kesempatan magang untuk merasakan medan pertempuran sesungguhnya.

Tahun 1962, dia lulus dari ATEKAD dan menyandang pangkat Letnan Dua. Jabatan pertamanya sebagai Komandan Peleton pada Batalyon Zeni Tempur 2/Kodam II di Medan.

Pierre tak lama menjadi komandan peleton. Saat persiapan Dwi Komando Rakyat, konfrontasi melawan Malaysia dan Inggris, dia ditugaskan mengikuti sekolah intelijen di Bogor.

Pierre kemudian ditugaskan di garis depan. Menyusup ke Singapura dan Johor menyamar sebagai turis. Dengan postur seperti bule, imigrasi tak curiga pria ini sebenarnya intelijen yang sedang mengumpulkan data.

Tugas menantang bahaya seperti ini rupanya disenangi Pierre. Namun sang ibu selalu khawatir. Dia meminta anaknya tak lagi bertugas di garis depan. Akhirnya Pierre mau menerima tugas sebagai ajudan Menhankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution. Dia bertugas mulai 15 April 1965.

Nasution dan istri memang sudah kenal dekat dengan keluarga Tendean. Ibu Nasution bahkan sudah mengenal Pierre sejak kecil. Selama di Bandung, Pierre juga sempat tinggal di kediaman keluarga Nasution.

Faktanya, tak hanya Jenderal Nasution yang ingin Pierre menjadi ajudannya. Jenderal Hartawan dan Jenderal Dandi Kadarsan juga ingin Pierre Tendean.

"Hanya untuk satu tahun saja, setelah itu saya akan minta dipindah," kata Pierre pada salah satu rekannya.

Pierre agaknya lebih nyaman menjadi perwira tempur lapangan daripada menjadi ajudan pejabat yang harus kental memegang protokoler.

Namun baru enam bulan bertugas, terjadilah tragedi maut G30S. Sekelompok tentara Tjakrabirawa menerobos masuk ke kediaman Jenderal Nasution.

Ironisnya, Pierre saat itu sebenarnya sudah turun piket. Dia berencana pulang ke Semarang untuk merayakan hari ulang tahun ibunya yang jatuh pada tepat tanggal 30 September. Tanggal 30 sore, dia berencana langsung pulang namun dicegah keluarga Nasution.

"Besok pagi saja. Bermalam dulu, tak aman pergi malam-malam," ujar Edi Suparno, penjaga Museum Jenderal Besar AH Nasution, menirukan suasana sore itu.

Pierre bangun karena mendengar suara ribut-ribut. Seorang anak Nasution berlari untuk berlindung ke kamar paviliunnya. Pierre mengenakan jaket dan keluar menyandang senapan. Tak jelas, di mana ajudan pengganti yang seharusnya bertugas menggantikan Pierre pada malam itu.

"Siapa di sana. Letakkan senjata!" bentak para penculik sambil menodongkan senjata.

"Saya Nasution," katanya gagah pada para penculik.

Sementara itu Jenderal Nasution bisa menyelamatkan diri dengan cara melompat tembok ke Kedutaan Besar Irak yang berada di sebelah rumahnya. Pierre segera diikat dan dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana sudah berkumpul tentara dan pemuda rakyat pendukung Gerakan 30 September.

Pierre sempat melawan saat mau ditembak. Akhirnya dia didudukkan paksa dan ditembak empat kali dari belakang. Jenazah Pierre dimasukkan paling akhir ke sumur tua itu. Sebelum ditutup tanah, seorang tentara merah memberondongkan senjata ke dalam lubang untuk memastikan semua korban tewas.

Usia Pierre baru 26 tahun saat dibunuh. Dia menjadi korban termuda dan satu-satunya perwira pertama yang jadi korban penculikan gerombolan Letkol Untung.

Anak laki satu-satunya kesayangan sang Ibu tak pernah pulang ke Semarang.
SHARE ARTIKEL