Kisah Peninggalan Seorang Ayah untuk Anaknya

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 19 Sep 2016

Kisah Peninggalan Seorang Ayah untuk Anaknya

Seorang anak, menelpon ayahnya yang tingal pisah rumah denganya dan ibunya. Pagi itu, ibunya sakit dan tidak bisa mengantar Anaknya ke sekolah seperti biasanya. Jarak sekolahnya 1 km dari rumahnya, dan si anak bertubuh lemah.

Pagi itu jam 6:00 si anak menelpon ayahnya:
Anak: ayah, antarkan aku sekolah.
Ayah: Ibumu ke mana?
Anak: Ibu sakit ayah, tidak bisa mengantarkan aku ke sekolah, kali ini ayahlah antarkan aku ke sekolah.
Ayah: Ayah tidak bisa, Ayah nanti terlambat ke kantor. Kamu naik angkot saja atau ojek
Anak: Ayah, uang ibu hanya tingal 10 ribu, Ibu sakit, kami pun belum makan pagi, tak ada apa- apa di rumah, kalau aku pakai untuk ongkos, kasian ibu sakit belum makan, juga adik2 nanti makan apa ayah?
Ayah: Ya sudah, kamu jalan kaki saja ke sekolah, ayah juga dulu ke sekolah jalan kaki.

Kamu anak laki laki harus kuat.

Anak: Ya sudah, terima kasih ayah.

Si anak mengakhiri teleponnya dengan ayahnya.
Dihapusnya air mata di sudut matanya, lalu berbalik masuk kamar, ketika ibunya menatap wajahnya, dia tersenyum.

Ibu   : Apa kata ayahmu nak?
Anak: Kata ayah iya ibu, ayah kali ini yang antar aku ke sekolah.
Ibu   : baguslah nak, sekolahmu jauh, kamu akan kelelahan kalau harus berjalan kaki.

Doakan ibu lekas sembuh ya, biar besok ibu bisa antar kau ke sekolah.

Anak: Iya ibu, ibu tenang saja, ayah yang antar, ayah bilang aku tunggu didepan gang supaya cepat ibu.
Ibu   : berangkatlah nak, belajar yg rajin yg semangat.
Anak: iya bu..

Tahun berganti tahun, kenangan itu tertanam dalam di ingatan si anak.
Dia sekolah sampai pasca sarjana dengan biaya beasiswa.
Setelah lulus dia bekerja di perusahaan asing dengan gaji yang besar.
Dengan penghasilannya, dia membiayai hidup ibunya, membantu menyekolahkan adik- adiknya sampai sarjana.

Satu hari, saat di kantor ayahnya menelpon.
Anak: ada apa Ayah?
Ayah: Nak, ayah sakit, tidak ada yang membantu mengantarkan ayah ke rumah sakit.
Anak: Memang istri ayah ke mana?
Ayah: Sudah pergi nak sejak ayah sakit sakitan.
Anak: Ayah, aku sedang kerja, Ayah kerumah sakit pakai taxi saja.
Ayah: Kenapa kamu begitu? Siapa yang akan urus pendaftran di RS dan lain-lain, apakah supir taxi ?  Kamu anak ayah, masak orangtua sakit, kamu tidak mau bantu mengurus?
Anak: Ayah, bukankah ayah yang mengajarkan aku, mengurus diri sendiri?

Bukankah ayah yang mengajarkan aku bahwa pekerjaan lebih penting daripada istri sakit dan anak ?
Ayah, aku masih ingat, satu pagi aku menelpon ayah minta antarkan ke sekolahku, waktu itu ibu sakit, ibu yg selalu antarkan kami anak-anaknya.

Yang mengurus kami seorang diri. Namun ayah katakan aku pergi jalan kaki, tubuhku lemah, sekolahku jauh, namun ayah katakan anak laki-laki harus kuat. Dan ayah katakan, ayahpun dulu berjalan kaki ke sekolah, maka aku belajar bahwa karena ayah lakukan demikian maka akupun harus lakukan hal yang sama. Saat aku sakitpun hanya ibu yang ada mengurusku, saat aku membutuhkan ayah, aku ingat kata-kata ayah, anak laki laki harus kuat.

Ayah tahu? Hari itu pertama kali aku berbohong kepada ibu, aku katakan iya ayah yang akan antarkan aku ke sekolah, dan meminta aku menunggu di depan gang.

Tapi ayah tahu? Aku jalan kaki seperti yang ayah suruh, di tengah jalan ibu menyusul dengan sepeda. Ibu bisa tau aku berbohong, dengan tubuh sakitnya ibu mengayuh sepeda mengantarkan aku ke sekolah.

Ayah mengajarkan aku pekerjaan adalah yang utama, ayah mengajarkan aku kalau ayah saja bisa maka walau tubuhku lemah aku harus bisa.

Kalau ayah bisa ajarkan itu, maka akupun pun harus bisa.

Si ayah terdiam, sepi diseberang telepon. Baru disadarinya betapa dalam luka yang di torehkannya di hati anaknya.

Cerita dari Zhitohank Lyla.

MasyaAllah, tak bisa berkata-kata. Apakah seorang anak ini durhaka dan berdosa, karena memendam sakit hatinya? Karena sebagai orangtua juga akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinya, yaitu anaknya. Bagaimana ia telah mendidik dan menjadikanya. Wallahu A'lam.

SHARE ARTIKEL