JENIUS Itu Anugrah Bawaan Lahir, Benarkah? Simak Penjelasanya!

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 22 Jun 2016

JENIUS Itu Anugrah Bawaan Lahir, Benarkah? Simak Penjelasanya!
Apakah jenius itu bawaan lahir
Banyak orang tua yang ingin anaknya jenius, namun orangtua sendiri kadang salah memaknai jenius dengan pandai dalam hal akademik, mendapatkan nilai nilai yang bagus di raport mereka. Jadinya ada persepsi yang salah juga dalam menilai apakah anak kita jenius atau tidak.

Jenius itu adalah anugrah bawaan lahir setiap anak manusia.
Kebodohan itu adalah hasil bentukan sistem manusia dan pola asuh yang keliru.


Benarkah kata kata itu?

Konon dalam salah satu komentarnya saat ia ditanya wartawan tentang anak-anak yang jenius, Einstein pernah berkata bahwa anak yang jenius itu bukanlah anak yang mampu menjawab sebanyak-banyaknya soal yang sudah ada jawabanya di buku, melainkan anak-anak yang paling banyak bertanya, apa saja, kapan saja, dan dimana saja, yang isi pertanyaannya seringkali bahkan orang dewasa saja tidak mampu untuk menjawabnya, demikian dilansir pendidikankarakter.

Jadi jika anak kita selalu bertanya apa saja dan dimana saja tanpa henti, sampai kita kewalahan dan “mati kutu” karena tidak bisa atau tidak tahu jawabannya, itulah tanda bahwa sesungguhnya ia masih dalam kondisi jenius.
Dan perlu dicatat dan diingat jika anak kita seperti ini jangan dimarahi, karena itulah pertanda ia masih jenius, setidaknya menurut sang jenius dunia Albert Einstein.

Baca Juga : Budaya Menghukum Anak Yang Salah, Jangan Lakukan Ini.

Tetapi jika ia sudah menjadi anak yang pasif, tidak lagi tertarik untuk bertanya, lebih banyak diam, dan bengong di depan televisi atau bermain game, karena stress terlalu banyak diminta untuk menjawab soal-soal ujian yang sudah ada jawabannya di buku. Maka saat itulah anak kita mulai meninggalkan sisi jenius yang ada dalam dirinya, yang merupakan anugrah yang telah dibawanya sejak lahir.

JENIUS Itu Anugrah Bawaan Lahir, Benarkah? Simak Penjelasanya!

Mari sekarang kita perhatikan anak kita masing-masing, apakah ia masih menjadi anak yang terus bertanya kapan saja, dimana saja, dan apa saja, atau malah sebaliknya? Apakah anak kita sudah tidak tertarik lagi untuk bertanya, dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk bengong di depan televisi atau bermain game?

Sayangnya kebanyakan orang di Indonesia menganggap bahwa jenius adalah milik segelintir orang atau anugrah pada anak-anak tertentu. Padahal fakta penelitian dari Prof. Howard Garner menunjukkan bahwa setiap anak berpotensi untuk jadi jenius, tetapi orangtua dan lingkunganlah yang seringkali telah membunuh potensi jenius mereka.

Jika anak-anak, para orangtua, dan guru-guru di Indonesia masih memahami bahwa jenius adalah nilai bagus di semua mata pelajaran, maka ini bisa dipastikan bahwa sekolah-sekolah di Indonesia tidak akan pernah bisa melahirkan anak-anak jenius sekaliber Einstein, Mozart, Thomas Edison dan sebagainya.

Perbedaan pemahaman ini akan menata pola asuh kita pula kepada anak, bukanya mendukung rasa keingintahuan anak. Malah anak dituntut mengerjakan semua mata pelajaran yang menumpuk, yang makin hari semakin banyak. Bukanya jenius system pendidikan Indonesia dapat membuat anak semakin stress. Jadi kita sebagai orang tua harus pandai dalam mendidik anak. Jangan sampai mematikan rasa penasaran dan kreativitas anak anda.

SHARE ARTIKEL